ILMU
EKONOMI
A.
Pengertian Ilmu Ekonomi dan Ruang Lingkupnya
Istilah
‘ekonomi’ berasal dari bahasa Yunani asal kata ‘oikosnamos’ atau
oikonomia’
yang artinya ‘manajemen urusan rumah-tangga’, khususnya
penyediaan
dan administrasi pendapatan. (Sastradipoera, 2001: 4). Namun sejak
perolehan
maupun penggunaan kekayaan sumberdaya secara fundamental perlu
diadakan
efesiensi termasuk pekerja dan produksinya, maka dalam bahasa
modern
istilah ‘ekonomi’ tersebut menunjuk terhadap prinsip usaha maupun
metode
untuk mencapai tujuan dengan alat=alat sesedikit mungkin. Di bawah ini
akan
dijelaskan beberapa definisi tentang ilmu ekonomi.
Menurut
Albert L. Meyers (Abdullah, 1992: 5) ilmu ekonomi adalah ilmu
yang
mempersoalkan kebutuhan dan pemuasan kebutuhan manusia. Kata kunci
dari
definisi ini adalah; pertama, tentang “kebutuhan” ⎯ yaitu suatu keperluan
manusia
terhadap barang-barang dan jasa-jasa yang sifat dan jenisnya sangat
bermacam-macam
dalam jumlah yang tidak terbatas. Kedua, tentang” pemuas
kebutuhan”
yang memiliki ciri-ciri “terbatas” adanya. Aspek yang kedua inilah
menurut
Lipsey (1981: 5) yang menimbulkan masalah dalam ekonomi, yaitu
karena
adanya suatu kenyataan yang senjang, karena kebutuhan manusia terhadap
barang
dan jasa jumlahnya tak terbatas, sedangkan di lain pihak barang-barang
dan
jasa-jasa sebagai alat pemuas kebutuhan sifatnya langka ataupun terbatas.
Itulah
sebabnya maka manusia di dalam hidupnya selalu berhadapan dengan
kekecewaan
maupun ketidakpastian. Definisi ini nampaknya begitu luas sehingga
kita
sulit memahami secara spesifik.
Ahli
ekonomi lainnya yaitu J.L. Meij (Abdullah, 1992: 6) mengemukakan
bahwa
ilmu ekonomi adalah ilmu tentang usaha manusia ke arah kemakmuran.
Pendapat
tersebut sangat realistis, karena ditinjau dari aspek ekonomi di mana
manusia
sebagai mahluk ekonomi (Homo Economicus) pada hakekatnya
mengarah
kepada pencapaian kemakmuran. Kemakmuran menjadi tujuan sentral
dalam
kehidupan manusia secara ekonomi, sesuai yang dituliskan pelopor
“liberalisme
ekonomi” oleh Adam Smith dalam buku “An Inquiry into the Nature
and
Cause of the Wealth of Nations” tahun 1976. Namun dengan cara bagaiman
manusia
itu berusaha mencapai kemakmurannya ? Dalam definisi yang
dikemukakan
Meij memang tidak dijelaskan.
Kemudian
Samuelson dan Nordhaus (1990: 5) mengemukakan “Ilmu
ekonomi
merupakan studi tentang perilaku orang dan masyarakat dalam memilih
cara
menggunakan sumber daya yang langka dan memiliki beberapa alternatif
penggunaan,
dalam rangka memproduksi berbagai komoditi, untuk kemudian
menyalurkannya
⎯ baik saat ini
maupun di masa depan ⎯ kepada berbagai
individu
dan kelompok yang ada dalam suatu masyarakat. Menurut Samuelson
2
bahwa
ilmu ekonomi itu merupakan ilmu pilihan. Ilmu yang mempelajari
bagaimana
orang memilih penggunaan sumber-sumber daya produksi yang langka
atau
terbatas untuk memproduksi berbagai komoditi, dan menyalurkannya ke
berbagai
anggota masyarakat untuk segera dikonsumsi. Jika disimpulkan dari tiga
pendapat
di atas walaupun kalimatnya berbeda, namun tersirat bahwa pada
hakikatnya
ilmu ekonomi itu merupakan usaha manusia untuk memenuhi
kebutuhannya
dalam mencapai kemakmuran yang diharapkan, dengan memilih
penggunaan
sumber daya produksi yang sifatnya langka/terbatas itu. Dengan kata
lain
yang sederhana bahwa ilmu ekonomi itu merupakan suatu disiplin tentang
aspek-aspek
ekonomi dan tingkah laku manusia.
Secara
fundamental dan historis, ilmu ekonomi dapat dibedakan menjadi
dua,
yakni ilmu ekonomi positif dan normatif (Samuelson dan Nordhaus, 1990:
9).
Jika ilmu ekonomi positif hanya membahas deskripsi mengenai fakta, situasi
dan
hubungan yang terjadi dalam ekonomi. Sedangkan ilmu ekonomi normatif
membahas
pertimbangan-pertimbangan nilai dan etika, seperti haruskan sistem
perpajakan
diarahkan pada kaidah mengambil dari yang kaya untuk menolong
yang
miskin? Lebih jelasnya Sastradipoera, 2001: 4, mengemukakan.
Ilmu
konomi positif merupakan
ilmu yang hanya melibatkan diri
dalam
masalah ‘apakah yang terjadi’ Oleh karena itu ilmu
ekonomi
positif itu netral terhadap nilai-nilai. Artinya ilmu
ekonomi
positif itu ‘bebas nilai’ (value free atau wetfrei)…hanya
menjelaskan
‘apakah harga itu’ dan ‘apakah yang akan terjadi
jika
harga itu naik atau turun’ bukan ‘apakah harga itu adil atau
tidak’…Ilmu
ekonomi normative, bertentangan dengan ilmu
positif,
ilmu ekonomi normatif beranggapan bahwa ilmu
ekonomi
harus melibatkan diri dalam mencari jawaban atas
masalah
‘apakah yang seharusnya terjadi’. Esensi dasar ilmu
ekonomi
adalah pertimbangan nilai (value judgment). Seorang
ekonom
penganut etika puritan egalitarianisme, Gunnar Myrdal
(1898-1987)
lebih suka menyebutnya ‘ilmu ekonomi
institusional’.
Ilmu
ekonomi sebagai bagian dari ilmu sosial, tentu berkaitan dengan
bidang-bidang
disiplin akademis lainnya, seperti ilmu politik, psikologi,
antropologi,
sosiologi, sejarah, geografi, dan sebagainya. Sebagai contoh
kegiatan-kegitan
politik seringkali dipenuhi dengan masalah-masalah ekonomi,
seperti
kebijaksanaan proteksi terhadap industri kecil, undang-undang
perapajakan,
dan sanksi-sanksi ekonomi. Ini artinya bahwa kegiatan ekonomi
tidak
dapat dipisahkan dari kegitan-kegiatan plitik (Abdulah, 1992: 6).
Sebagai
disiplin yang mengkaji tentang aspek ekonomi dan tingkah laku
manusia,
artinya juga mengkaji peristiwa-peristiwa ekonomi yang terjadi di
dalam
masyarakat. Dan perlu diketahui, bahwa mengkaji peristiwa-peristiwa
ekonomi,
tujuannya adalah berusaha untuk mengerti hakikat dari peristiwaperistiwa
tersebut
yang selanjutnya untuk dipahaminya. Dengan demikian dapat
dikemukakan
bahwa tujuan ilmu ekonomi itu untuk: (1) mencari pengertian
tentang
hubungan peristiwa-peristiwa ekonomi, baik yang berupa hubungan
3
kausal
maupun fungsional. (2) untuk dapat menguasai masalah-masalah ekonomi
yang
dihadapi oleh masyarakat. (Abdullah, 1992:7).
Ilmu
ekonomi juga memiliki keterbatasan-keterbatasan yang dimilikinya.
Walaupun
kita ketahui dalam ilmu ini telah digunakan pendekatan-pendekatan
kuantitatif-matematis,
tetapi pendekatan-pendekatan tersebut tidak dapat
menghilangkan
keterbatasan-keterbatasannya yang melekat pada ilmu ekonomi
sebagai
salah satu cabang ilmu sosial. Menurut Abdullah, (1992: 8),
keterbatasanketerbatasan
tersebut
mencakup:
(1)
Objek penyelidikan ilmu ekonomi tidak dapat dilokalisasikan. Sebagai
akibatnya
kesimpulan atau generalisasi yang diambilnya bersifat
kontekstual
(akan terikat oleh ruang dan waktu).
(2)
Dalam ilmu ekonomi manusia selain berkedudukan sebagai subjek
yang
menyelidiki, juga objek yang diselidiki. Oleh karena itu hasil
penyelidikannya
yang berupa kesimpulan ataupun generalisasi, tidak
dapat
bersifat mutlak, di mana unsure-unsur subjeknya akan mewarnai
kesimpulan
tersebut.
(3)
Tidak ada laboratorium untuk mengadakan percobaan-percobaan.
Sebagai
akibatnya ramalan-ramalan ekonomi sering kurang tepat.
(4)
Ekonomi hanya merupakan salah satu bagian saja dari seluruh program
aktivitas
di suatu negara. Oleh karena itu apa yang direncanakan (exante)
dan
kenyataannya (ex-post) sering tidak sejalan.
Sehubungan
dengan keterbatasan-keterbatasannya tersebut, maka sebagai
akibatnya
sifat keberlakuan generalisasinya yang berupa dalil-dalil atau hukumhukum
dan
teori-teorinya akan tergantung kepada konteks ruang dan waktu serta
tidak
mutlak. Jadi sifat keberlakuan dalil-dalil atau hokum-hukumnya adalah
bersyarat.
Yaitu bila yang lainnya tidak berubah Syarat ini bisa disebut juga
dengan
“Cateris Paribus”. Hal ini disebabkan oleh hukum-hukum ekonomi
merupakan
pernyataan-pernyataan tentang tendensi-tendensi ekonomi. Ia
merupakan
hukum-hukum yang berhubungan dengan tingkah laku sosial
masyarakat
dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, di mana tingkah laku tersebut
juga
dipengaruhi atau tergantung kepada situasi dan kondisi yang berlaku pada
suatu
saat. Jadi ilmu ekonomi sebagai bagian dari ilmu sosial tetap tidak dapat
melepaskan
dirinya dari keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki oleh ilmu sosial.
Ditinjau
dari ruang-lingkup/cakupannya, ilmu ekonomi juga dapat
dibedakan
atas makroekonomi dan mikroekonomi (Samuelson dan Nordhaus,
1990:
99). Istilah ”makroekonomi” itu sendiri untuk pertama kali diperkenalkan
oleh
Ragnar Frisch pada tahun 1933, untuk diterapkan pada studi mengenai
hubungan
antar agregat ekonomi yang bersifat luas, seperti; pendapatan nasional,
inflasi,
pengangguran agregat, neraca pembayaaran (Taylor, 2000: 597). Perlu
diketahui
bahwa pada masa sebelumnya, sasaran kebijakan kamroekonomi adalah
kesempatan
kerja full employment (kondisi di mana seluruh sumber daya,
khususnya
tenaga kerja, bisa terserap sepenuhnya) dan stabilitas harga. Stabilitas
ouput
dari
dari tahun ke tahun ⎯ untuk
menghindari ledakan pertumbuhan atau
resesi
yang sangat parah ⎯ merupakan
sasaran tambahan. Tetapi, tingkat
pertumbuhan
output pada jangka waktu yang lebih panjang, tergantung pada
banyak
faktor ⎯ seperti
teknologi, pelatihan, dan insentif ⎯ yang cenderung
4
termasuk
dalam ”sisi penawaran” atau kebijakan mikroekonomi. Dalam
perekonomian
yang terbuka, baik posisi neraca pembayaran (balance of payment)
atau
pola tingkat pertukaran di pasar pertukaran valuta asing dapat dipandang
sebagai
tujuan yang terpisah dari kebijakan makroekonomi atau sebagai suatu
halangan
terhadap operasional makroekonomi (Britton, 2000: 596).
Dalam
hal ini instrumen kebijakan makroekonomi adalah moneter dan
fiskal.
Kebijakan moneter dilaksanakan oleh bank sentral, sebagai contoh oleh
Bank
Indonesia. Ketat/tidaknya kebijakan ini dapat diukur dari tingkat suku bunga
riil
(yaotu suku bunga nominal dikurangi tingkat inflasi) atau melalui pertunbuhan
penawaran
uang (yang didefinisikan secara berbeda-beda)> Salah satu keuntungan
kebijakan
moneter sebagai alat untuk mempengaruhi perekonomian adalah
berbeda
dari kebijakan fiskal., kebijakan ini bisa dikaji ulang dan diubah secara
kontinu
berdasarkan informasi baru (Britton, 2000: 596).
Sedangkan
kebijakan fiskal adalah perpajakan dan pembelanjaan
masyarakat
yang dikontrol oleh pemerintah yang tunduk pada ketentuanketentuan
yang
telah mendapat engesahan dari badan legislatif. Pajak dan
pembelanjaan
mempengaruhi perekonomian melalui cara yang berbeda-beda,
tetapi
’kebijakan fiskal’ dalam konteks saat ini adalah efek bujet sebagai suatu
keseluruhan
terhadap tingkat agregat permintaan dalam perekonomian. Kecuali
dalam
situasi darurat, kebijakan fiskal biasanya diubah sekali setahun.
Kegunaannya
dalam mengatur perekonomian juga ditentukan oleh kemampuan
dalam
menangani anggaran publik itu sendirisecara bijaksana (Britton, 2000:
596).
Penggunaan
pinjaman publik dan tingkat suku bunga untuk menstabilkan
perekonomian
diterima sebagai suatu prinsip kebijakan pada tahun 1950-an dan
1960-an,
seiring dengan gagasan Maynard Keynes yang telah mengubah banyak
prinsip
ekonomi. Selanjutnya, di tahun 1970-an dan 1980-an muncullah neo klasik
atau
kontra revolusi monetaris yang berasal dari Chicago dan dipimpin Milton
Frriedman.
Isu yang mendasar dalam perdebatan ini berkaitan dengan hubungan
antara
dua tujuan dari full employment dan stabilitas harga. Hal ini
dimungkinkan
(melalui
pemotongan pajak atau pemotongan tingkat suku bunga), untuk
meningkatkan
ketenagakerjaan dalam jangka pendek tanpa harus membuat inflasi
meningkat
cepat. Namun, dalam jangka apanjang argumentasi neo klasik
menyatakan
bahwa situasi ini tidak bisa berbalik (dengan tingkat pengangguran
kembali
pada level ”alamiah” dan tidak ada yang bisa ditunjukkan untuk
kebijakan
perluasan kecuali terjadinya inflasi yang lebih tinggi.
Menurut
Britton (2000: 597), tidak bisa dipungkiri, dalam praktiknya
catatan
kebijakan makroekonmi sejak tahun 1970-an lebih banyak mengalami
kegagalan
dibandingkan keberhasilan. Inflasi meningkat tajam di sebagian besar
negara,
terutama pada periode kenaikan harga minyak dunia yang paling dramatis,
1974
dan 1979. Sejak tahun 1980-an inflasi lebih rendah, tetapi pada saat
bersamaan
pengangguran di banyak negara jauh lebih tinggi. Respons terhadap
berbagai
kekecewaan ini telah mengarahkan pada tindakan memperkenalkan
desain
kebijakan baru untuk meningkatkan ”saling tukar” (trade off) antara dua
sasaran.
Di tahun 1970-an, khususnya di Inggeris, penekanannya yang utama
adalah
kebijakan harga dan penghasilan. Pendekatan lain, yang berlanjut hingga
5
tahun
1990-an, melibatkan tindakan-tindakan ketenagakerjaan khusus yang
dirancang
untuk membantu pengaturan secara langsung dengan cara memberikan
pelatihan
atau mencarikan lowongan pekerjaan yang sesuai untuk mereka.
Ini
sangat berbeda dengan studimengenai unit-unit pengambilan keputusan
individual
dalam perekonomian seperti rumah tangga, pekerja dan perusahaan,
yang
secara umum dikenal dengan sebutan mikroekonomi. Sebagai contoh
ekonomi
mikro meneliti determinasi harga terhadap beras, atau harga relatif beras
dan
baja atau employment dalam industri baja, sementara ekonomi makro
berurusan
dengan determinasi tingkat employment dalam suatu perekonomian
khusus,
atau dengan tingkat harga dari seluruh komoditas. Kendati perbedaan
antara
dua bidang analisis ekonomi ini berguna untuk berbagai tujuan.
Perkembangan
ekonomi mikro sebagai suatu bidang tersendiri, merupakan
bagian
dari pendekatan marjinal atau neo klasik yang mulai mendominasi teori
ekonomi
setelah tahun 1970-an. Berbeda dengan ekonomo klasik, yang menyoroti
pertumbuhan
ekonomi negara akibat pertumbuhan sunber daya produktif
mereka,
serta menjelaskan harga relatif barang berdasarkan kondisi-kondisi
obyektif
dari biaya-biaya produksinya. Dalam teori neo klasik mengarahkan
perhatiannya
pada alokasi sumber daya yang tersedia secara efektif (dengan
asumsi
implisit mengenai fullemployment) dan pada determinasi ’subyektif’
terhadap
harga-harga individual yang berdasarkan pada kegunaan marjinal
(Asimakopulos,
2000: 660).
Terdapat
enam topik yang sering dipresentasikan dalam ekonomi mikro,
yakni;
(1) teori perilaku konsumen, (2) teori pertukaran, (3) teori produksi dan
biaya,
(4) teori perusahaan, (5) teori distribusi, dan (6) teori ekonomi
kesejahteraan
(Asimakopulos, 2000: 661). Tema umum yang mendasari semua
topik
tersebut adalah upaya dari para aktor individual untuk meraih suatu posisi
yang
optimal, dengan nilai-nilai parameter yang membatasi pilihan mereka. Para
konsumen
berusaha untuk memaksimalkan kepuasan (atau kegunaan), sesuai
dengan
selera, pendapatan mereka dan harga barang-barang; perusahaan berusaha
memaksimalkan
laba mereka, dan ini berarti bahwa dengan tingkat output berapapun
diproduksi
dengan biaya terendah. Syarat-syarat maksimalisasi tersirat dalam
istilah
ekualitas marjinal (marginal revenue) sama dengan biaya mrginal
(marginal
cost).
Dewasa
ini ilmu ekonomi telah berkembang jauh melebihi ilmu-ilmu
sosial
lainnya yang terbagi-bagi dalam beberapa bidang kajian seperti;
Ekonomi
Lingkungan.
Bidang kajian ’ekonomi lingkungan’
(environmental
economics) ini bermula dari tulisan Gray (1900-an), Pigou (1920-
an),
dan Hotelling (1930-an), akan tetapi baru mncul sebagai studi koheren pada
tahun
1970-an, yakni ketika revolusi lingkungan mulai terjadi di berbagai negara
(Pearce,
2000: 300). Selanjutnya, jika ditinjau dari substansinya, terdapat tiga
unsur
pokok dalam ekonomi lingkungan, yakni; Pertama, kesejahteraan manusia
sedang
terancam oleh degradasi lingkungan dan penyusutan sumber daya alam.
Dalam
hal ini sangat mudah untuk menunjukkan bukti konkret dari timbulnya
bencana
banjir yang disebabkan oelh penggundulan hutan, pembukaan lahan
untuk
perumahan dan industri, terjadinya erosi, dan sebagainya. Semuanya ini
6
memiliki
dampak bukan saja pada kesehatan, tetapi juga secara ekonomis
merugikan
kehidupan manusia.
Kedua,
kerusakan
lingkungan disebabkan oleh penyimpangan/kegagalan
ekonomi,
terutama yang bersumber dari pasar. Hal ini dapat diambil contoh,
bahwa
karena orientasi produk dan profit, tidak sedikit beberapa industri yang
mengabaikan
analisis dampak lingkungan yang merugikan (externality) bagi
masyarakat
luas. Begitu juga banyak industri-industri global yang menempatkan
pabrik-pabrik
dari negara maju ke hutanhutan dan persawahan di negara
berkembang.
Ketiga, solusi kerusakan lingkungan harus mengoreksi unsur-unsur
ekonomi
sebagai penyebabnya. Seperti halnya dengan kebijakan subsidi, relokasi
industri,
dan sebagainya, yang kiranya merusak lingkungan, harus segera
dihentikan.
Selain itu, jika ativitas ’destruktif’ terselubung yang merugikan itu
sulit
dihentikan, perlu ada penerapan pajak ekstra atau penerbitan lisensi khusus
demi
merendam kegiatan tersebut. Langkah ini pernah dilakukan di Amerika
Serikat
yang menerbitkan lisensi polusi dan lisensi memancing, yang ternyata
cukup
efektif mengatasi masalah tersebut (Pearce, 2000:300).
Ekonomi
Evolusioner :
Merupakan
bidang kajian ekonomi yang
menjelaskan
naik turunnya pertumbuhan ekonomi dan jatuh bangunnya
perusahaan-perusahaan,
kota-kota, kawasan dan negara, yang mencerminkan
bahwa
evolusi selalu beroperasi pada tingkat yang berlainan dengan tingkat
kecpatan
yang berbeda-beda. Dan, hal inilah yang menjadi latar belakang
munculnya
bidang-bidang baru kegiatan ekonomi (Metcalfe, 2000: 324). Dengan
demikian
selalu dipertanyakan mengapa dan bagaimana perekonomian dunia
berbah,
sehingga tinjauannya bersifat dinamis, untuk menangkap keragaman
perilaku
yang memperkaya perubahan sejarah. Tema-tema inilah yang sering
dibicarakan
dalam sejarah (Landes, 1968; Mokyr, 1991), yang semuanya bertolak
dari
suatu mekanisme yang sama, namun menentukan pula keragaman perilaku
ekonomi.
Ekonomi
evolusioner, juga merupakan entitas-entitas yang memiliki
berbagai
karakteristik atau ciri perilaku, yakni; stabilitas kelangsunan perlaku
dari
waktu ke waktu,
sehingga kita dapat mengaitkan ciri-ciri perilaku di masa
mendatang
dengan yang ada pada saat ini. Dengan dengan demikian inersia
(inertia)
merupakan elemen pengikat penting serta tampak jelas bahwa evolusi
tidak
dapat berlangsung di dunia di mana individu-individu atau organisasinya
berperilaku
secara acak/random. Begitu juga dalam kajian mengenai sumber
keragaman
perilaku ekonomi, para ahli lebih menaruh perhtian pada pengaruh
teknologi,
organisasi, dan manajemen berdasarkan pemahaman bagaimana suatu
tindakan
dilangsungkan sehingga memunculkan ciri-ciri perilaku yang
menguntungkan.
Kemudian timbul pertanyaan; apakah evolusi itu mengandung
rasinalitas?.
Di sini nampaknya tidak. Sebab dalam dunia manapun, di mana
pengetahuan
dihargai cukup mahal sertakapasitas komputasional senaniasa
terbatas,
maka kita tidak memiliki ijakan yang layak untukk mengupayakan
optimistisasi
secara pasti, sebagai pedoman guna menilai perilaku. Walaupun
tidak
disangkal lagi bahwabahwa ndividu senantiasa mencari hasil yang
terbaikdari
serangkaian pilihan yang ada, akan tetapi kalkulasi yang
7
dipergunakannya
mungkin saja bersifat lokal, dan tidak bersifat global. Hal nilah
yang
merupakan sumber keragaman perilaku tersebut (Metcalfe, 2000: 324).
Ekonomi
Eksperimental:
Bidang ekonomi eksperimental pada mulanya
merupakan
hasil-hasl studi perilaku pilihan individu, terutama ketika para ekonom
memusatkan
perhatiannya pada teori-tori mikroekonomi. Teori tersebut bertumpu
pada
preferensi-preferensi individu, di mana mereka menyadari bahwa bidang
tersebut
sulit dipelajari dalam lingkungan alamiah, sehingga dirasakan perlunya
merumuskan
sarana laboratorium. Sebagai pengujian awal formal atas teori-teori
pilihan
individu (individual choice), dapat dtemukan pada tulisan Thurstone
dalam
The Indifference Function (1931) yang menggunakan teknik-teknik
eksperimental.
Kemudian didukung pula oleh teori harapan kepuasan (expected
utility
theory)
mengajukan prediksi-prediksi lebih gamblang, maka pada tahun
1950
Melvin Dresher dan Merrill Flood melakukan eksperimen awal secara
formal
dilaksanakan. Ternyata teori ini memang cocok untuk mempelajari
perilaku,
kendati masih ada penyimpangan. Selain itu, teori ini juga diterapkan
pula
pada studi tentang pengadaan barang publik, yang dilakukan secara survey
oleh
Ledyard dalam Publik Goods: a survey of experimental research tahun 1995
(Roth,
2000: 332).
Sebagai
eksperimen awal tentang hal ini dilaukan oleh Thomas Schelling
dalam
karyanya The Strategy of Conflict (1960). Eksperimen in sangat berguna
untuk
mengisolasikan dampak-dampak aturan main tertentu yang harus
diorganisir
pasar. Tentang kajian umum mengenai ilmu ekonomi eksperimental
dan
ulasannya tentang sejarah dan perkembangannya, telah dimuat dalam karya
Roth
”Introduction to experimental ecomics” (1950). Begitu juga Sunder dalam
Experimental
asset markets: a survey (1995), yang menyoroti pasar-pasar
komoditi,
seperti; pasar ang dan asar modal, di mana informasi memegang
peranan
sedemikan penting. Pendeknya, ’ilmu ekonomi eksperimental’ kini telah
menjadi
perangkat riset yang mapan bagi perkembangan ekonomi secara umum
(Roth,
2000: 334).
Ekonomi
Kesehatan:
Ilmu ekonomi (health economics) kesehatan
berusaha
melakukan analisis terhadap input-input perawatan kesehatan, seperti
pembelanjaan
dan tenaga kerja, memperkerikan dampak-adampaknya pada hasil
akhir
yang diinginkan, yakni kesehatan masyarakat. Sedangkan tujuannya ilmu
ekonomi
kesehatan tersebut adalah menggeneralisasikan aneka informasi
mengenai
biaya dan keuntungan dari cara-cara alternatif mencapai kesehatan dan
tujuan-tujuan
kesehatan (Maynard, 2000: 427).
Dalam
relaitasnya, evaluasi mengenai perawatan kesehatan itu jarang
dilakukan
baik yang bersifat publik (pemerintah) maupun pribadi (misalnya
individu
pembuat keputusan dan anggota keluarganya). Bahkan Cochrane dalam
tulisannya
yang berjudul Effectiveness and Efficiency (1971) mengeluhkan
kebiasaan
buruk tersebut dengan mengemukakan: ”hampir semua terapi
perawatan
kesehatan, tidak pernah dievaluasi secara ’ilmiah’. Maksud ’ilmiah’ di
sini
adalah bahwa aplikasi ujicoba terkontrol yang sifatnya random oleh pelaksana
terapi
terhadap kelompok eksperimental pasienyang diambil secara acak. Serta
sebuah
konsep terapi alternatif sebagai pembandingnya. Jika ada perbedaan
8
signifikan
antara hasil terapi pada kelompok kontrol, berarti dampak relatif dari
terapi
tersebut benar-benar berpengaruh maupun bermakna.
Ekonomi
Institusional. Ekonomi
institusional (institutional economics)
merupakan
studi tentang sistem-sistem sosial yang membatasi penggunaan dan
pertukaran
sumber daya langka, serta upaya-upaya untuk menjelaskan munculnya
berbagai
bentuk pengaturan institusional yang masing-masing mengandung
konsekuensi
tersendiri terhadap kinerja ekonomi (Eggertsson, 2000: 501).
Lahirnya
ilmu ekonomi institusional ini bertolak dari asumsi-asumsi
1.
Kontrol yang lemah akan mendorong pemborosan dan
pemanfaatn
sumber daya secara semberono.
2.
Kontrol yang tertib akan menurunkan niat curang dan
memperkecil
biaya transaksi yang selanjutnya memacu
spesialisasi
produksi dan investasi jangka panjang.
3.
Pemilahan kontrol sosial mempengaruhi distribusi kekayaan.
4.
Kontrol organisaional mempengaruhi pilihan organisasi
ekonomi.
5.
Kontrol bisa secara langsung mengatur pemakaian sumber
daya
ke sektor-sektor yang dianggap paling tepat.
6.
Struktur kontrol mempengaruhi pengembangan jangka
panjang
sistem ekonomi karena strukturitu mempengaruhi
nilai
relatif investasi dan jenis-jenis proyek yang akan
diutamakan
(Eggertsson, 2000: 501).
Ditinjau
dari usianya, ilmu ekonomi institusional tersebut relatif baru,
karena
secara formal baru berdiri sejak tahun 1980, kendati perintisannya jauh
dilakukan
pada masa-masa sebelumnya. Coase dalam The Nature of the Firm
(1937), dan The
Problem of Social Cost (1960), tentang biaya transaksi; Alchian
dalam
Some economics of property (1961) tentang hak cipta. Padatahun 1980-an
inilah
upaya-upaya pengembangan teori ekonomi umum yang baku tentang
institusi
memperoleh momentumnya. Penyempurnaan-penyempurnaan
pendekatan
standar dalam ilmu ekonomi telah berhasil dilakukan, bersamaan
dengan
munculnya ekonomi neo-institusdional yang mencakup berbagai al
penting
yang semula tidak termasuk dalam endekatan konvensioanl. Beberapa
modifikasi
tersebut telah diterima sebagai bagian dari aliran utama ilmu ekonomi
serta
cabang-cabangnya seperti; studi organisasi industri seperti yang ditulis
Milgram
dan Roberts, 1992; dan ekonomi hukum yang ditulis Posner, 1992,
(Eggerstsson,
2000: 503).
Ekonomi
Matematik. Ilmu
’ekonomi matematik’ (mathematical
economics) mulai
berkembang sejak tahun 1950-an. Sebelum terjadi formalisasi
ekonomi
matematika dan sebelum dikenal teknik-teknik canggih dalam analisis
matematika
ekonomi tersebut terutama bertumpu pada teknik-teknik analisis
grafik
dan presentasi. Memang pada tingkat tertentu sangat efektif, tetapi
teknikteknik
tersebut
juga dibatasi leh karakter dua dimensional dari selembar kertas.
Selain
itu juga, teknik-teknik grafik dapat mengemukakan asumsi-asumsi implisit
yang
signifikansinya mungkin tidak kentara atau sangat sulit dimengerti (Hughes,
2000:
630). Tetapi setelah tahun 1950-an, terutama yang ditandai oleh arus
9
perpindahan
ahli-ahli matematika menjadi akademisi ekonomi (seperti Kenneth
Arrow,
Gerard Debreu, Frank Hahn, Werner Hildenbrant), maka ilmu ekonomi
matematik-pun
menjadi berkembang dengan pesat sebagai suatu disiplin ilmiah.
Ditinjau
dari substansinya dalam ekonomi matematik tersebut, mula-mula
digunakannya
teori ekuasi simultan (simultaneous equations) oleh Leon Walras,
untuk
membahas problem ekuilibrium dalam beberapa pasar yang saling
berhubungan
dengan dignakannya kalkulus oleh Edgeworth untuk menganalisis
perilaku
konsumen. Beberbagai permasalahan ini tetap berada pada inti ekonomi
matematika
modern, kendati teknik-teknik matematematika yang diterapkan telah
berubah
seluruhnya. Analisis ekuilibrium umum telah menjadi sangat bergantung
pada
perkembangan modern dalam tipologi dan analisis fungsional, sehingga
pembagian
bidang antara tipe ekonomi matematika yang cukup abstrak dengan
matematika
murni, hampir tidak jelas sama sekali. Kemudian substansi lainnya
adalah
teori perilaku konsumen atau produsen, individual mendapatkan manfaat
dan
kemajuan melalui teori program matematika dan teori analisis cembung atau
covex
analysis (Hughes,
2000: 631). Sebagai implikasinya hasil ari penerapan
kalkulus
digolongkan pada suatu teori umum yang didasarkan pada konsep fungsi
nilai
maksimum/minimum, yaitu suatu fungsi laba maupun biaya untuk produsen.
Hal
ini merupakan suatu fungsi kegunaan atau pembelanjaan tidak langsung bagi
konsumen.
Dengan demikian teori ini menggali hasil dualitas yang menandai
berbagai
masalah maksimalisasi dan minimalisasi yang saling berhubungan, yang
dapat
diberi nterpretasi ekonom langsung. Seperti halnya kumpulan ’harga-harga
bayangan’
dengan berbagai hambatan yang membatasi berbagai berbagai pilihan
yang
layak. Pendekatan terhadap teori konsumen dan produsen tersebut
mempunyai
implikasi–implikasi empiris g penting dan dapat diuji (Hughes, 2000:
631).
Ekonomi
Sumber Daya Alam;
Ilmu ekonomi sumber daya alam (natural
resource
economics), merupakan bidang ekonomi yang mencakup kajian
deskriptif
dan normatif terhadap alokasi berbagai sumber daya alam (yaitu sumber
daya
yang tidak diciptakan melalui kegiatan manusia, melainkan disediakan oleh
alam).
Beberapa masalah penting dalam hal ini berkaitan dengan jumlah sumber
tertentu
yang bisa atau harus ditransformasikan dalam proses-proses ekonomi,
dan
keseimbangan dalam pemanfaatan sumber daya antara generasi sekarang dan
yang
akan datang (Sweeney, 2000: 697).
Ekonomi
Pertahanan.
Ekonomi pertahanan (defence economic),
merupakan
studi tentang biaya-biya pertahanan yang mengkaji masalah
pertahanan
dan erdamaian dengan menggunakan analisis dan metode ekonomi
yang
meliputi kajian mikroekonomi dan makroekonomi seperti optimiasi statis
dan
dinamis, teori-teori pertumbuhan, distribusi, perbandingan data statistik dan
ekonometrik
(penggnaan statistika model ekonomi). Sedangkan pelaku-pelaku
dalam
studi ini antara lain, Menteri Pertahanan, birokrat, kontraktor pertahanan,
anggota
parlemen, bangsa-bangsa yang bersekutu, para gerilyawan, teroris dan
pemberontak
(Sandler, 2000: 208).
Bidang
ini berkembang pesat setelah Perang Dunia II, yang topik-topiknya
mencakup;
perlombaan senjata, studi aliansi dan pembagian beban, kesejahteraan,
penjualan
senjata, kebijakan pembelian senjata, pertahanan dan pembangunan,
10
industri
senjata, persetujuan embatasan senjata, dampak ekonomis dari suatu
erjanjian,
evaluasi usulan perlucutan senjata, pengalihan industri pertahanan, dan
sebagainya.
Ketka terjadi Perang Dingin Blok barat dan Timur, pehatian ekonomi
pertahanan
umumnya tertuju pada masalah-masalah beban pertahanan dan
dampaknya
terhadap pertumbhan ekonomi. Sedangkan pada pasca Perang Dingin,
para
ekonom pertahanan memusatkan perhatian pada konversi perindustrian
militer,
aspek sumber daya persenjataan, biaya pemeliharaan pasukan penjaga
perdamaian,
dan pengukuran keuntungan perdamaian (Sandler, 2000: 209).
B.
Metode Ilmu Ekonmi
Seperti
yang telah dikemukakan di atas bahwa ilmu ekonomi secara
sedehana
merupakan uapaya manusia untuk pemenuhan kebutuhannya yang
bersifat
tak terbatas dengan alat pemenuhan kebutuhan berupa barang dan jasa
yang
bersifat langka serta mempunyai kegunaan altrnatif. Untuk dalam cara
pemenuhan
kebutuhan itulah berkaitan dengan metode-metode dalam ilmu
ekonomi
tersebut.
Adapun
metode-metode yang digunakan dalam ilmu ekonmi,menurut
Chaurmain
dan Prihatin (1994: 14-16) meliputi:
1.
Meode Induktif; yaitu metode di mana suatu keputusan dilakukan dengan
mengumpulkan
semua data iformasi yang ada di dalam realitas kehidupan.
Realita
tersebut dalam setiap unsur kehidupan yang dialami individu,
keluarga,
masyarakat local dan sebagainya mencoba dicari jalan pemecahan
sehingga
upaya pemenuhan kebutuhannya tersebut dapat dikaji secara
secermat
mungkin. Sebagai contoh upaya menghasilkan dan menyalurkan
sumber
daya ekonomi. Upaya tersebut dilakukan sedemikian rupa sehingga
sampai
diperoleh barang-barang dan jasa-jasa yang dapat tersedia pada
jumlah,
harga, dan waktu yang tepat bagi pemenuhan kebutuhan tersebut.
Untuk
mencapai tujuan tersebut maka diperlukan perencanaan yang dalam
ilmu
ekonomi berfungsi sebagai cara ataupun metode untuk menyusun daftar
kebutuhan
terhadap sejumlah barang dan jasa yang diperlukan masyarakat.
2.
Metode Deduktif; adalah suatu metode ilmu ekonomi yang bekerja atas
dasar
hukum,
ketentuan atau prinsip umum yang sudah diuji kebenarannya. Dengan
metode
ini ilmu ekonomi mencoba menetapkan cara pemecahan masalah,
sesuai
dengan acuan, prinsip, hukum dan ketentuan yang ada dalam ilmu
ekonomi.
Misalnya, dalam ilmu ekonomi terdapat hukum yang
mengemukakan
bahwa “jika persediaan barang-barang dan jasa berkurang
dalam
masyarakat, sementara permintaannya tetap, maka maka barang-barang
dan
jasa-jasa akan naik harganya”. Bertolak dari hukum ekonomi tersebut,
para
ahli ekonomi secara deduktif sudah dapat menentukan bahwa harus
dijaga
agar pesrsediaan barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat tersebut
selalu
dapat mencukupi dalam kuantitas dan kualitasnya. Boulding (1955: 12)
menyebutnya
sebagai metode eksperimen intelektual (the method of
intellectual
experiment).
3.
Meode Matematika; adalah metode yang digunakan untuk memecahkan
masalah-masalah
ekonomi dengan cara pemecahan soal-soal secara
11
matematis.
Hal ini maksudnya bahwa dalam matematika terdapat kebiasaankebiasaan
yang
dimulai dengan pembahasan dalil-dalil. Melaui pembahasan
dalil-dalil
tersebut dapat dipastikan bahwa kajiannya itu dapat diterima
secara
umum.
4.
Meode Statistika; adalah suatu metode pemecahan masalah ekonomi dengan
cara-cara
pengumpulan data, pengolahan data, analisis data, penafsiran data,
dan
penyajian data dalam bentuk angka-angka secara statistik. Dari angkaangka
yang
yang disajikan, kemudian dapat diketahui permasalahan yang
sesungguhnya
untuk kemudian dicarikan cara pemecahannya. Sebagai contoh,
pembahasan
mengenai masalah pengangguran. Dalam hal ini bisa terlebih
dahulu
diidentifikasi unsur-unsur yang berkaitan dengan pengangguran,
misalnya;
data-data perusahaan, data-data tenaga kerja yang yang
terdidik/kurang
terdidik, jenis dan jumlah lapangan kerja yang trsedia,
jumlah
dan tingkat upah yang ditawarkan perusahaan, temapat perusahaan
beroperasi,
maupun rata-ratempat tinggal para calon pekerja. Dari data yag
tekumpul
tersebut, seorang ahli ekonomi akan dapat menyusun
pengolahan/analisis
dan penafsiran data secara statistik yang berhubungan
dengan
pemecahan masalah pengangguran tersebut. Dari angka-angka statistik
tersebut
kemudian ia dapat menentukan cara-cara yang tepat untuk membantu
mengatasi
masalahmasalah pengangguran secara akurat berdasarkan tafsiran
peneliti
terhadap angka-angka yang disajian secara statistik.
B.
Sejarah Lahir dan Perkembangan Ilmu Ekonomi
Menurut
Irving Kristol, ilmu ekonomi sebagai sebuah disiplin akademis,
dalam
perjalanan sejarah, muncul pada abad ke-17 dan 18 sebagai suatu aspek
“revolusi”
filosofis yang menciptakan dunia “modern” (Kristol, 1981: 203).
Dalam
hal ini “manusia ekonomi” yang diciptakan ilmu ekonomi tampil sebagai
manusia
yang ingin mencapai kepuasan yang tertinggi.
Jika
ditelusuri lebih jauh kisah, konsep “manusia ekonomi” itu dapat
ditelusuri
dalam falsafah Psikologi Asosiatif khususnya “hedonisme” serta
falsafah
“utilitarianisme” yang banyak merambah pengikutnya sejak abad 18 dan
19.
Dan kalau ingin ditelusuri lebih jauh lagi “hedonisme” sudah ada sejak zaman
Yunani
kuno, salah seorang tokohnya yang terkenal adalah Epikurus (341-271
s.M.)
Paham ini berpendapat bahwa kepuasan merupakan satu-satunya alasan
dalam
tindak susila. Hal ini sesuai dengan pendapat Joseph Schumpeter (1954)
menulis
sebagai berikut:
Buku
ini akan memaparkan perkembangan dan nasib baik
analisis
ilmiah di bidang ilmu ekonomi, mulai dari zaman
Greaco-Roman
hingga
sekarang, dalam suatu kerangka sosial
dan
politik yang memadai dengan tetap memberi perhatian pada
perkembangan-perkembangan
di berbagai bidang ilmu sosial
lainnya
dan juga filsafat.
Sedikit
sekali para ekonom kontemporer yang mau melacak ilmunya dari
peradaban
Greaco-Roman (Yunani-Romawi) dan tidak banyak pula yang
menonjolkan
keeratan hubungan antara ilmu ekonomi dengan ilmu-ilmu lainnya
12
seperti
dengan sejarah maupun filsafat (Bills, 2002: 273). Namun dengan
menyediakan
tulisan 200 halaman, Schumpeter sengaja melacak hal itu sebelum
Adam
Smith tahun 1776 menulis The Wealth of Nations, yang menandai
munculnya
ilmu ekonomi yang sepenuhnya berdiri sendiri (Bill, 2002: 273).
Pertama,
ide-de
yang berkembang pada jaman Renaissance yang
menyatakan
bahwa manusia adalah bagian dari alam yang berdaulat. Gagasan ini
membebaskan
para analis ekonomi untuk menerapkan metode-metode rasional
dan
reduksionis guna mengikis anggapan-anggapan ekonomi yang tidak
didasarkan
pada fakta atau kajian ilmiah (misalnya, anggapan orang hanya bisa
disebut
kaya jika ia punya banyak emas).
Kedua, ilmu ekonomi
terbebaskan dari ikatan moral, namun tidak lantas
menjadi
sosok negara yang penuh kekuasaan yang politik ekonominya amoral
seperti
yang diperkirakan para merkantilis dan teoretisi lainnya, yang di mata
Adam
Smith dan kawan-kawan tidak realistis. Ilmu ekonomi sekedar lebih
“dingin”
dalam menanggapi soal-soal moral, dan membuka diri terhadap kajian
kritis.
Ketiga, tujuan
analisis ekonomi meluas, bukan sekedar pada pemilihan
kebijakan
dagang demi memperbesar kekuatan negara, melainkan juga
menyangkut
kehidupan dan kesejahteraan sehari-hari. Perkembangan
individualisme
libelar di abad 17 dan 18 menggarisbawahi pergeseran itu. Mulai
banyak
analisis yang dicurahkan pada pengerjaan kesejahteraan individu yang
telah
dipandang sebagai sesuatu yang wajar, dan tidak lagi dianggap sebagai
wujud
keserakahan (Bliss, 2000: 273).
Pernyataan
yang terakhir inilah nampak adanya titik temu dua aliran besar,
yakni
aliran yang menghendaki kiprah aktif negara, dan aliran laissez faire.
Kedua-duanya
sama-sama menganggap penting peran negara/pemerintah dalam
perekonomian.
Hanya saja mereka masih berbeda pendapat secara mendasar
tentang
sejauh mana peran itu dilakukan? Kebijakan menjadi topik kajian yang
sangat
diminati, dan sampai sekarang aneka model dan rumusannya terus
dikembangkan
demi memudahkan berlangsungnya perumusan kebijakan ekonomi
yang
sebaik-baiknya.
Ilmu
ekonomi sendiri terus bergulat dengan persoalan-persoalan
epistemologi
dan aksiologinya. Ilmu ekonomi memang bukan ilmu pasti seperti
fisika,
biologi, maupun kimia yang serba eksak. Ilmu ekonomi memiliki modelmodel
data
dan asumsi-asumsinya sendiri yang bersifat menyederhanakan atau
simplistik.
Di dalamnya juga terkandung nilai-nilai, tentang apa yang dianggap
baik
atau buruk. Padahal ilmu pada umumnya bebas nilai (bukan dalam
penegrtian
acak, namun bebas dari penilaian si ilmuwan).
Secara
umum, asumsi kedaulatan selera individu tidak dipersoalkan oleh
para
ekonom. Sejak Vilfredo Pareto sampai sekarang, dukungan bagi pengajaran
kepentingan
individu merupakan inti ekonomi kesejahteraan. Namun Hicks
(1969)
menentang pandangan itu dengan mengungkapkan adanya tiga kelemahan
dalam
evaluasinya. Hal ini didukung oleh Arrow (1973) yang secara meyakinkan
dapat
menunjukkan melui sebuah fungsi kesejahteraan yang diderivasikan dari
preferensi
individu bahwa prinsip kedaulatan konsumen akan memunculkan
pemaksaan
atau kediktatoran satu individu kepada individu lainnya. Meskipun
13
rumusan
Arrow itu controversial (lihat misalnya Sen, 1979), namun pendapatnya
telah
mengubah keyakinan mutlak tentang kedaulatan konsumen yang semula
diagungkan.
Memang
sejumlah ekonom lebih suka menanggalkan sikap netral dan
melacak
implikasi dari suatu kebijakan berdasarkan nilai-nilai mereka sendiri,
meskipun
ekonom lain mempertahankannya. Hal ini antara lain terwujud berupa
teori
kebijakan keuangan publik yang mementingkan kepentingan umum;
misalnya
mereka menegaskan bahwa pajak rata-rata (lump taxation) adalah yang
paling
baik karena tagihan yang dibebankannya terhadap setiap wajib pajak
relatif
paling kecil, meskipun distribusinya tidak merata (pajak yang dibayarkan
oleh
orang kaya dan miskin tidak banyak berbeda (Atkinson dan Stiglitz, 1980).
Perdebatan
ini tidaklah berarti bahwa ilmu ekonomi sejak awal suddah
demikian
sarat dengan nilai. Usulan pajak rata-rata itu lebih bertolak dari sikap
yang
tidak terlalu mementingkan kaitan antara efisiensi dan distribusi pungutan
pajak,
serta sikap itu sendiri diwarnai oleh angan-angan akan adanya lembagalembaga
ekonomi
yang sempurna dan mampu menjangkau batas kemungkinan
kepuasan
(utility possibility frontier) melui kebijakan tertentu. Ilmu ekonomi
modern
berusaha mencapai “kompatibilitas intensif” atau pengutamaan disain
dan
fungsi lembaga-lembaga ekonomi, termasuk perpajakan, di mana setiap
individu
dimudahkan oleh negara dalam mengejar kepentingannya (Fudenberg
dan
Tirole, 1991).
Dalam
ekonomi modern, disain kebijakannya jauh lebih rumit dan
canggih,
dan begitu juga asumsi pembatasannya lebih banyak daripada
perekonomian
pada abad sebelumnya khususnya aabad ke-18. Bentuk dan sejauh
mana
peran negara dalam ekonomi dimodelkan dalam konteks disain sistem
perpajakan
dan regulasi. Harus diakui bahwa kajian tentang desain kebijakan ini
kian
lama kian lengkap.
Lalu
seberapa jauh keberhasilan ilmu ekonomi di akhir abad 20 atau awal
21?
Ditinjau sekilas secara ekologis, ilmu ekonomi memang cukup berhasil. Ia
mampu
mereproduksi diri secara efisien. Namun kemampuannya dalam
memecahkan
masalah masih perlu dipertanyakan. Bahkan sejak pertengahan
tahun
1970-an, para ekonom sering mempertanyakan relevansi ilmu mereka
dengan
kebijakan, khususnya dalam ekonomi makro yang teori-teorinya masih
jauf
dari efektif, meskipun mereka sendiri ⎯ termasuk Adam
Smith dahulu ⎯
menyadari
bahwa teori tidak akan dapat memperbaiki kondisi pasar. Betapa-pun,
ilmu
ekonomi akan tetap mmenarik karena dapat menawarkan perspektif guna
memahami
apa yang terjadi di pasar.
Hampir
setiap kekeliruan kebijakan selalu ditimpakan pada pemikiran
intelektual
yang melandasinya. Hal ini tidak selalu benar, karena ada kalanya
kegagaln
kebijakan disebabkan oleh faktor-faktor non-ekonomi ataupun yang lain.
Sebaliknya
kegagalan ekonomi bisa ikut menyebabkan hancurnya suatu sistem
negara
seperti yang dialami sistem komunisme di Uni Soviet dan Eropa Timur
lainnya.
Namun tentu saja pasar atau ekonomi dan langkah-langkah
pembinaannya
(misalnya liberalisasi) bukan satu-satunya solusi. Hal ini terbukti
dengan
gagalnya serangkaian reformasi ekonomi di bekas negara-negara komunis
14
Eropa
Timur itu. Kondisi ekonomi di setiap masyarakat terbukti tidak bisa
dilepaskan
dari pengalaman dan presumsi sejarahnya (Bliss, 2000: 277).
C.
Mazhab-mazhab dalam Ekonomi
Ilmu
ekonomi mengenal berbagai mazhab, menurut Sastradipoera (2001:
12-82)
terdapat delapan mazhab ilmu ekonomi, yaitu mazhab:(1) merkantilis; (2)
fisiokrat;
(3) klasik; (4) sosialis; (5) hitoris; (6) marjinalis; (7) institusionalis; (8)
kesejahteraan.
Mazhab
merkantilisme muncul
antara Abad Pertengahan dengan kejayaan
Laissez-Faire
(1500-1776
atau 1800). Menurut Eatwell (1987: 445),
merkantilisme
merupakan babak panjang pertalian sederhana dalam sejarah
pemikiran
ekonomi Eropa da kebijaksanaan ekonomi nasional, yang membentang
sekitar
tahun 1500 sampai tahun 1800. Adanya ‘penemuan-penemuan’ daerah
baru
yang luas memiliki implikasi bahwa institusi ‘gilda’ tidak memadai lagi,
bahkan
dianggap sebagai penghambat berkembangnya perdagangan antar negara
waktu
iru. Akibatnya, mereka melakukan perdagangan dengan berbagai negara
hasil
temuan mereka, dan semua ini menimbulkan persaingan dagang yang
makin
menajam antar bangsa penjelajah. Para ‘kapitalis pedagang’ (marchant
capitalists)
memegang peranan penting dalam dunia bisnis. Emas, rempahrempah,
perak
yang memberikan kemudahan bagi pesatnya perdagangan dan
mendorong
tumbuhnya teori menenai logam mulia (Sastradipoera, 2001: 14).
Pada
masa tersebut peran tokoh Thomas Mun (1571-1641) saudagar kaya
raya
dari Inggris dan Jean Baptist Colbert (1619-1683) adalah seorang menteri
utama
ekonomi dan keuangan dari Prancis pada zaman raja Louis XIV, meupakan
dua
tokoh penting yang mewakili kaum ‘skolar’ dan saudagar pada waktu itu,
sehingga
ekonomi merkalitisme ini sering disebut ‘Colbertisme’.
Inti
ajaran/mazhab ini bahwa; Pertama, emas dan perak khususnya
merupakan
bentuk kekayaan yang paling banyak disukai, oleh karena itu merka
melarang
ekspor logam mulia. Kedua, negara harus mendorong ekspor dan
memupuk
kekayaan dengan merugikan negara lainnya (tetangga). Ketiga, dalam
kebijaksanaan
ekspor-impor, berkeyakinan bahwa perkembangan harus dapat
diraih
dan dikelola dengan jalan meraih surplus sebesar-besarnya dari penerimaan
ekspor
barang yang melebihi belanja untuk impor barang. Keempat, kolonisasi
dan
monopolisasi perdagangan harus benar-benar dapat dilaksanakan secara ketat
untuk
memelihara keabadian kaum koloni tunduk dan tergantung kepada negara
induk.
Kelima, penentangan atas bea, pajak, dan restriksi intern terhadap
mobilitas
barang, Keenam, harus dibangun pemerintah pusat yang kuat, guna
menjamin
kebijaksanaan merkantilisme tersebut, dan. Ketujuh, pentingnya
pertumbuhan
penduduk yang tinggi namun disertai dengan sumberdaya manusia
yang
tinggi pula untuk memenuhi kepentingan pemasokan kepentingan militer
serta
pengelolaan merkentilisme yang kuat pula (Sastradipoera, 2001: 12-18).
Mazhab
Fisiokrat,
muncul pertama kali di Prancis menjelang berakhirnya
zaman
merkantilis yang diawali tahun 1756. Isitah ”fisiokrat” berasal dari bahasa
Yunani,
dari kata ”physia” berarti alam, dan ”kratos” berarti kekuasaan. Secara
harfiah
beararti ”supremasi alam”. Tokohnya adalah Frncois Quesnay (1654-
1774),
seorang dokter ilmu bedah Prancis yang pernah menjadi dokter pribadi
15
Raja
Louis XV, juga dokter kepercayaan selir raja, Madame de Pompadour. Di
samping
profesinya sebagai dokter, ia seorang ahli ekonomi yang menulis
artikelnya
”ilmu ekonomi” dalam Grande Encyclopedie. Quesnay mengecam
kebijaksanaan
ekonomi Colbert, dengan mengatakan bawa seorang menteri
tidaklah
pantas mengeluarkan kebijaksanaan hanya didorong oleh kecemburuan
terhadap
keberhasilan perdagangan Belanda dan keindahan industri barang-barang
mewah.
Hal ini hanya akan menjebloskan negara Prancis dalam kebodohan yang
amat
dalam, di mana rakyat hanya bisa bicara mengenai ”dagang” dan ”uang”.
Semuanya
ini tidak lain hanya karena ulah Colbert yang telah menghancurkan
sendi-sendi
ekonomi rakyat Prancis.
Inti
ajaran fisiokrat ini pada hakikatnya berlandaskan hukum alam.
Sebagaimana
Isaac Newton (1643-1727) yang telah menemukan hukum dunia
fisik,
maka Quesnay percaya bahwa seluruh kegiatan manusia harus dibawa ke ke
dalam
harmoni dengan hukum alam. Intinya, pertama, Semboyan laissez-faire,
laissez-passer
yang
berasal dari Vincent de Gournay (1712-1759) yang arti
konotatifnya
”biarkan orang berbuat seperti yang mereka sukai tanpa campurtangan
pemerintah”
mengisaratkan betapa pemerintah harus membatasi diri dalam
intervensinya
dalam perekonomian jelas bertentangan dengan kaum merkantilis,
maupun
feodalis. Kedua, tekanan pada sektor pertanian yang produktif yang
memungkinkan
terjadinya surplus atau produk neto di atas nilai sumber daya yang
digunakan.
Ketiga, pemilik tanah harus dibebani pajak yaitu dalam bentuk satu
macam
pajak Sekalipun perekonomian Prancis tidak menjadi lebih baik, namun
fisiokrat
telah memberikan sumbangan yang bermakna bagi perkembangan ilmu
ekonomi,
terutama dalam semboyan laissez-faire, fisiokrat mengubah perhatian
para
ekonom kepada masalah peranan pemerintah dalam perekonomian yang
didasarkan
pada persaingan bebas dan kebebasan memilih serta membuat
keputusan
(Sastradipoera, 2001: 21-27)..
Mazhab
Klasik;
mazhab ini secara umum mengacu kepada sekumpulan
gagasan
ekonomi yang bersumber dari formulasi David Hume, yang karya
terpentingnya
diterbitkan pada tahun 1752 dan munculnya seorang ekonom besar
yang
pernah menjadi Guru Besar Falsafah Moral di Universitas Glasgow, Adam
Smith
dengan karyanya An Inquiry into the Nature and causes of the Wealth of
Nations
tahun
1776 sampai Ricardo, McCulloch John.Stuart. Mill, dan Lord
Overstone
(1837). Gagasan-gagasan kedua tokoh tersebut mendominasi ilmu
ekonomi,
khususnya yang mekar di Inggeris, selama seperempat terakhir abad 18
dan
tigaperempat pertama abad 19 (O’Brien, 2000: 120).
Inti
mazhab klasik tersebut pada hakikatnya terletak pada gagasan bahwa
pertumbuhan
ekonomi berlangsung melalui interaksi antara akumulasi modal dan
pembagian
kerja. Akumulasi modal dapat dilakukan dengan menunda atau
mengurangi
penjualan out-put dan hal ini baru akan bermanfaat jika dibarengi
pengembangan
spesialisasi dan pembagian kerja. Pembagian kerja iu sendiri
nantinya
akan dapat meningkatkan total out-put sehingga memudahkan
dilakukannya
akumulasi modal lebih lanjut. Jadi jelaslah bahwa antara kedua hal
tersebut
terdapat hubungan timbal-balik yang sangat penting. Pertumbuhan
ekonomi
hanya dapat ditingkatkan jika modal bisa ditambah, dan atau jika alokasi
sumber
daya (pembagian kerja) dapat disempurnakan. Namun pembagian kerja itu
16
sendiri
dibatasi oleh ukuran atau skala pasar, yang pada gilirannya ditentukan oleh
jumlah
penduduk dan pendapatan perkapita yang ada. Tatkala modal
terakumulasi,
tenaga kerja akan kian dibutuhkan sehingga tingkat upah-pun
meningkat
untuk memenuhi kebutuhan ”subsisten” baik secara psikologis maupun
fisiologis
(O’Brien, 2000: 121). Ilmu ekonomi klasik tersebut merupakan prestasi
intelektual
yang mengesankan. Landasan-landasan teoretis yang
dikembangkannya
menjadi pijakan bagi teori-teori perdagangan dan moneter
sampai
sekarang ini.
Mazhab
Sosialisme.
Dalam mazhab sosialisme ini sistem pemilikan dan
pelaksanaan
kolektif atas faktor-faktor produksi (khususnya barang-barang
modal),
biasanya oleh pemerintah. Ide-ide sosialis dan gerakan politik mulai
berkembang
pada awal abad ke-19 di Inggeris dan Prancis. Periode antara tahun
1820-an
sampai 1850-an ditandai dengan pletoria beragam sistem sosialis yang
diusulkan
oleh Saint-Simon, Fourier, Owen, Blanc, Proudhon, Marx dan Engels,
serta
banyak lagi pemikir sosialis lainnya. Kebanyakan sistem/mazhab ini bersifat
utopia
dan sebagian besar pendukungnya adalah para ’filantropis’ (cinta kasih
sesama
umat manusia) kelas menengah yang memiliki komitmen untuk
memperbaiki
kehidupan para pekerja/burh serta kaum miskin lainnya. Selain itu
kebanyakan
penganut sosialis mendambakan masyarakat yang lebih terorganisir
yang
akan menggantikan anarki akibat dari pasar dan kemiskinan masal
masyarakat
perkotaan (Hirst, 2000: 1012).
Inti
ajaran atau mazhab sosialis sebenarnya sulit dijelaskan karena luasnya
cakupan
sosialisme (sosialisme utopis, sosialisme ilmiah, sosialisme negara,
sosialisme
anarkis, sosialisme revisionis, sosialisme serikat sekerja, dan
sebagainya).
Mereka
yang membela sosialisme acapkali berbeda mengenai
jenis
sosialisme yang mereka cari. Hanya dalam beberapa hal
mereka
mempunyai kesamaan, selebihnya berbeda bahkan
bertentangan.
Ada yang menghendaki hapusnya pemerintah,
sementara
yang lainnya ingin mempertahankan agar dapat
melindungi
kepentingan bruh; ada pula yang menganggap semua
lambang
kapitalisme harus dilenyapkan, termasuk mekanisme
pasar,
harga, dan invisible hand, sedangkan yang lainnya
menganggap
mekanisme pasar dan harga masih diperlukan dalam
saat-saat
awal soialisme disebabkan sulitnya mengukur efisiensi
ketika
dewan perencanaan pusat menyusun prioritas
(Sastradipoera,
2001: 40).
.
Sedangkan
mazhab historis, yang lahir di Jerman tahun 1840-an melalui
karya
ilmiah yang ditulis oleh Friederich List (1789-1846) dalam Nationales
System
der politischen Oekonomie (1840), dan Wilhelm Roscher (1817-1894)
dalam
Grundriss zu Vorlesungen ueber die Staatswissenchaft nach
geschichtilicher
Methode (1843),
menyerang mazhab klasik Inggeris. Mereka
beranggapan
bahwa konsep-konsep ekonomi sesungguhnya merupakan produk
perkembangan
menurut sejarah kehidupan ekonomi yang khusus tumbuh di sautu
negara.
Oleh karena itu hukum-hukum ekonomi tidaklah mutlak, tetapi bersifat
17
relatif
atau nisbi berhubungan dengan perkembangan sosial menurut dimensi
waktu
dan tempat.
Kemudia
mazhab marjinalis. Mazhab ini pelopornya adalah Karl Menger
(1840-1921)
dari Jerman dalam karyanaya Grundsaetze der Volkswirtschaftlehre
(1871).
Selanjutnya seorang ekonom Inggeris William Staley Jevons (1835-1882)
dalam
karyanya Theory of Political Economy (1871), dan seorang Prancis Leon
Walras
(1834-1910) dalam karyanya Elements d’economie politique pure (1874).
Mereka
memberikan analisis yang telak mengenai hubungan antara kebutuhan dan
harga
dengan mengacu kepada konsep ”guna marjinal”. Mereka menegaskan
bahwa
dalam hal seseorang individu, setiap tambahan suatu barang yang
dilakukan
secara berturut-turut akan memperkecil nilai obyektif setiap tambahan
yang
dimiliki oleh individu itu. Oleh karena itu gagasan yang tidak sistematik
mengenai
nilai pakai dan permintaan serta penawaran sebagai penentu nilai tukar
barang
(yang dikembangkan bersamaan dan bertentangan dengan teori Klasik),
menemukan
penanganansistematik pada awal tahun 1970-an oleh ketiga penulis di
atas
(Sastradipoera, 2001: 62).
Mazhab
institusionalis,
datang dari Amerika Serikat tahun 1900-an yang
pengaruhnya
masih kuat sampai sekarang ini, contohnya adanya undang-undang
anti-trust
yang masih dipertahankan. Tokohnya adalah Thorstein Veblen (1857-
1929)
dalam karyanya The Theory of the Leisure Class pada tahun 1899. Veblen
dikenal
sebagai seorang kritikus sosial yang bersemangat serta menyerang
organisasi
masyarakat industri kontemporer yang dianggapnya boros, dan
mengalahkan
sikap konsumtif yang menyolok mata. Selanjutnya ia mengamati
sudut-sudut
yang merugikan yang berasal dari gejala yang dihadapinya; ”milik
guntay”
(abstentee ownertship) yang merupakan ciri utama kapitalisme finansial.
Berasal
dari ”milik guntay” maka muncullah suatu lapisan masyarakat yang
dianggap
oleh Veblen sebagai ”kelas santai” (lesure class), adalah suatu kelas
pada
masyarakat lapisan atas yang berasal dari dunia industri dan keuangan yang
perilkunya
menampakkan fenomena kaum ”feodal tanggung” dengan
mempertontonkan
pola konsumsi yang berlebihan serta mencolok mata
(Sastradipoera,
2001: 72).
Mazhab
neo kalsik;
merujuk pada versi terbaru dari ekonomi klasik yang
dimunculkan
pada abad 19 terutama oleh Alfred Marshal dan Leon Walras. Versiversi
yang
terkenal itu dikembangkan pada abad ke-20 oleh John Hicks
(1946[1939])
dan Paul samuelson (1965[1947]). Lepas dari pengertian neo klasik
umumnya,
perbedaan ekonomi ne klasik dan klasik hanya terletak pada
penekanan
dan pusat perhatiannya. Jika ekonomi klasik menjelaskan segala
kondisi
ekonomi dalam kerangka kekuatan-kekuatan misterius ”invisiblehand”
(tangan-tangan
tak terlihat), maka dalam mazhab ekonomi neo klasik mencoba
memberi
penjelasan lengkap dengan memfokuskan pada mekanisme-mekanisme
aktual
yang menyebabkan terjadinya kondisi ekonomi tersebut (Boland, 2000:
700).
Selanjutnya
adalah mazhab Keynesian; Mazhab ini sesuai dengan
namanya
dipimpin oleh John Maynard Keynes, yang merupakan ekonomi agregat
(makro)
yang dituangkan dalam bukunya General Theory of Employment, Interest
and
Money (1936),
dan dari karya-karya pengikut Keyneu yang lebih kontemporer
18
seperti
Sir Roy Harrold, Lord Kaldor, Lord Kahn, Joan Robinson dan Michael
Kalecki,
yang meluaskan analisis Keynes terhadap pertumbuhan ekonomi dan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar