Sabtu, 14 Juli 2012

IE


ILMU EKONOMI
A. Pengertian Ilmu Ekonomi dan Ruang Lingkupnya
Istilah ‘ekonomi’ berasal dari bahasa Yunani asal kata ‘oikosnamos’ atau
oikonomia’ yang artinya ‘manajemen urusan rumah-tangga’, khususnya
penyediaan dan administrasi pendapatan. (Sastradipoera, 2001: 4). Namun sejak
perolehan maupun penggunaan kekayaan sumberdaya secara fundamental perlu
diadakan efesiensi termasuk pekerja dan produksinya, maka dalam bahasa
modern istilah ‘ekonomi’ tersebut menunjuk terhadap prinsip usaha maupun
metode untuk mencapai tujuan dengan alat=alat sesedikit mungkin. Di bawah ini
akan dijelaskan beberapa definisi tentang ilmu ekonomi.
Menurut Albert L. Meyers (Abdullah, 1992: 5) ilmu ekonomi adalah ilmu
yang mempersoalkan kebutuhan dan pemuasan kebutuhan manusia. Kata kunci
dari definisi ini adalah; pertama, tentang “kebutuhan” yaitu suatu keperluan
manusia terhadap barang-barang dan jasa-jasa yang sifat dan jenisnya sangat
bermacam-macam dalam jumlah yang tidak terbatas. Kedua, tentang” pemuas
kebutuhan” yang memiliki ciri-ciri “terbatas” adanya. Aspek yang kedua inilah
menurut Lipsey (1981: 5) yang menimbulkan masalah dalam ekonomi, yaitu
karena adanya suatu kenyataan yang senjang, karena kebutuhan manusia terhadap
barang dan jasa jumlahnya tak terbatas, sedangkan di lain pihak barang-barang
dan jasa-jasa sebagai alat pemuas kebutuhan sifatnya langka ataupun terbatas.
Itulah sebabnya maka manusia di dalam hidupnya selalu berhadapan dengan
kekecewaan maupun ketidakpastian. Definisi ini nampaknya begitu luas sehingga
kita sulit memahami secara spesifik.
Ahli ekonomi lainnya yaitu J.L. Meij (Abdullah, 1992: 6) mengemukakan
bahwa ilmu ekonomi adalah ilmu tentang usaha manusia ke arah kemakmuran.
Pendapat tersebut sangat realistis, karena ditinjau dari aspek ekonomi di mana
manusia sebagai mahluk ekonomi (Homo Economicus) pada hakekatnya
mengarah kepada pencapaian kemakmuran. Kemakmuran menjadi tujuan sentral
dalam kehidupan manusia secara ekonomi, sesuai yang dituliskan pelopor
“liberalisme ekonomi” oleh Adam Smith dalam buku “An Inquiry into the Nature
and Cause of the Wealth of Nations” tahun 1976. Namun dengan cara bagaiman
manusia itu berusaha mencapai kemakmurannya ? Dalam definisi yang
dikemukakan Meij memang tidak dijelaskan.
Kemudian Samuelson dan Nordhaus (1990: 5) mengemukakan “Ilmu
ekonomi merupakan studi tentang perilaku orang dan masyarakat dalam memilih
cara menggunakan sumber daya yang langka dan memiliki beberapa alternatif
penggunaan, dalam rangka memproduksi berbagai komoditi, untuk kemudian
menyalurkannya baik saat ini maupun di masa depan kepada berbagai
individu dan kelompok yang ada dalam suatu masyarakat. Menurut Samuelson
2
bahwa ilmu ekonomi itu merupakan ilmu pilihan. Ilmu yang mempelajari
bagaimana orang memilih penggunaan sumber-sumber daya produksi yang langka
atau terbatas untuk memproduksi berbagai komoditi, dan menyalurkannya ke
berbagai anggota masyarakat untuk segera dikonsumsi. Jika disimpulkan dari tiga
pendapat di atas walaupun kalimatnya berbeda, namun tersirat bahwa pada
hakikatnya ilmu ekonomi itu merupakan usaha manusia untuk memenuhi
kebutuhannya dalam mencapai kemakmuran yang diharapkan, dengan memilih
penggunaan sumber daya produksi yang sifatnya langka/terbatas itu. Dengan kata
lain yang sederhana bahwa ilmu ekonomi itu merupakan suatu disiplin tentang
aspek-aspek ekonomi dan tingkah laku manusia.
Secara fundamental dan historis, ilmu ekonomi dapat dibedakan menjadi
dua, yakni ilmu ekonomi positif dan normatif (Samuelson dan Nordhaus, 1990:
9). Jika ilmu ekonomi positif hanya membahas deskripsi mengenai fakta, situasi
dan hubungan yang terjadi dalam ekonomi. Sedangkan ilmu ekonomi normatif
membahas pertimbangan-pertimbangan nilai dan etika, seperti haruskan sistem
perpajakan diarahkan pada kaidah mengambil dari yang kaya untuk menolong
yang miskin? Lebih jelasnya Sastradipoera, 2001: 4, mengemukakan.
Ilmu konomi positif merupakan ilmu yang hanya melibatkan diri
dalam masalah ‘apakah yang terjadi’ Oleh karena itu ilmu
ekonomi positif itu netral terhadap nilai-nilai. Artinya ilmu
ekonomi positif itu ‘bebas nilai’ (value free atau wetfrei)…hanya
menjelaskan ‘apakah harga itu’ dan ‘apakah yang akan terjadi
jika harga itu naik atau turun’ bukan ‘apakah harga itu adil atau
tidak’…Ilmu ekonomi normative, bertentangan dengan ilmu
positif, ilmu ekonomi normatif beranggapan bahwa ilmu
ekonomi harus melibatkan diri dalam mencari jawaban atas
masalah ‘apakah yang seharusnya terjadi’. Esensi dasar ilmu
ekonomi adalah pertimbangan nilai (value judgment). Seorang
ekonom penganut etika puritan egalitarianisme, Gunnar Myrdal
(1898-1987) lebih suka menyebutnya ‘ilmu ekonomi
institusional’.
Ilmu ekonomi sebagai bagian dari ilmu sosial, tentu berkaitan dengan
bidang-bidang disiplin akademis lainnya, seperti ilmu politik, psikologi,
antropologi, sosiologi, sejarah, geografi, dan sebagainya. Sebagai contoh
kegiatan-kegitan politik seringkali dipenuhi dengan masalah-masalah ekonomi,
seperti kebijaksanaan proteksi terhadap industri kecil, undang-undang
perapajakan, dan sanksi-sanksi ekonomi. Ini artinya bahwa kegiatan ekonomi
tidak dapat dipisahkan dari kegitan-kegiatan plitik (Abdulah, 1992: 6).
Sebagai disiplin yang mengkaji tentang aspek ekonomi dan tingkah laku
manusia, artinya juga mengkaji peristiwa-peristiwa ekonomi yang terjadi di
dalam masyarakat. Dan perlu diketahui, bahwa mengkaji peristiwa-peristiwa
ekonomi, tujuannya adalah berusaha untuk mengerti hakikat dari peristiwaperistiwa
tersebut yang selanjutnya untuk dipahaminya. Dengan demikian dapat
dikemukakan bahwa tujuan ilmu ekonomi itu untuk: (1) mencari pengertian
tentang hubungan peristiwa-peristiwa ekonomi, baik yang berupa hubungan
3
kausal maupun fungsional. (2) untuk dapat menguasai masalah-masalah ekonomi
yang dihadapi oleh masyarakat. (Abdullah, 1992:7).
Ilmu ekonomi juga memiliki keterbatasan-keterbatasan yang dimilikinya.
Walaupun kita ketahui dalam ilmu ini telah digunakan pendekatan-pendekatan
kuantitatif-matematis, tetapi pendekatan-pendekatan tersebut tidak dapat
menghilangkan keterbatasan-keterbatasannya yang melekat pada ilmu ekonomi
sebagai salah satu cabang ilmu sosial. Menurut Abdullah, (1992: 8), keterbatasanketerbatasan
tersebut mencakup:
(1) Objek penyelidikan ilmu ekonomi tidak dapat dilokalisasikan. Sebagai
akibatnya kesimpulan atau generalisasi yang diambilnya bersifat
kontekstual (akan terikat oleh ruang dan waktu).
(2) Dalam ilmu ekonomi manusia selain berkedudukan sebagai subjek
yang menyelidiki, juga objek yang diselidiki. Oleh karena itu hasil
penyelidikannya yang berupa kesimpulan ataupun generalisasi, tidak
dapat bersifat mutlak, di mana unsure-unsur subjeknya akan mewarnai
kesimpulan tersebut.
(3) Tidak ada laboratorium untuk mengadakan percobaan-percobaan.
Sebagai akibatnya ramalan-ramalan ekonomi sering kurang tepat.
(4) Ekonomi hanya merupakan salah satu bagian saja dari seluruh program
aktivitas di suatu negara. Oleh karena itu apa yang direncanakan (exante)
dan kenyataannya (ex-post) sering tidak sejalan.
Sehubungan dengan keterbatasan-keterbatasannya tersebut, maka sebagai
akibatnya sifat keberlakuan generalisasinya yang berupa dalil-dalil atau hukumhukum
dan teori-teorinya akan tergantung kepada konteks ruang dan waktu serta
tidak mutlak. Jadi sifat keberlakuan dalil-dalil atau hokum-hukumnya adalah
bersyarat. Yaitu bila yang lainnya tidak berubah Syarat ini bisa disebut juga
dengan “Cateris Paribus”. Hal ini disebabkan oleh hukum-hukum ekonomi
merupakan pernyataan-pernyataan tentang tendensi-tendensi ekonomi. Ia
merupakan hukum-hukum yang berhubungan dengan tingkah laku sosial
masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, di mana tingkah laku tersebut
juga dipengaruhi atau tergantung kepada situasi dan kondisi yang berlaku pada
suatu saat. Jadi ilmu ekonomi sebagai bagian dari ilmu sosial tetap tidak dapat
melepaskan dirinya dari keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki oleh ilmu sosial.
Ditinjau dari ruang-lingkup/cakupannya, ilmu ekonomi juga dapat
dibedakan atas makroekonomi dan mikroekonomi (Samuelson dan Nordhaus,
1990: 99). Istilah ”makroekonomi” itu sendiri untuk pertama kali diperkenalkan
oleh Ragnar Frisch pada tahun 1933, untuk diterapkan pada studi mengenai
hubungan antar agregat ekonomi yang bersifat luas, seperti; pendapatan nasional,
inflasi, pengangguran agregat, neraca pembayaaran (Taylor, 2000: 597). Perlu
diketahui bahwa pada masa sebelumnya, sasaran kebijakan kamroekonomi adalah
kesempatan kerja full employment (kondisi di mana seluruh sumber daya,
khususnya tenaga kerja, bisa terserap sepenuhnya) dan stabilitas harga. Stabilitas
ouput dari dari tahun ke tahun untuk menghindari ledakan pertumbuhan atau
resesi yang sangat parah merupakan sasaran tambahan. Tetapi, tingkat
pertumbuhan output pada jangka waktu yang lebih panjang, tergantung pada
banyak faktor seperti teknologi, pelatihan, dan insentif yang cenderung
4
termasuk dalam ”sisi penawaran” atau kebijakan mikroekonomi. Dalam
perekonomian yang terbuka, baik posisi neraca pembayaran (balance of payment)
atau pola tingkat pertukaran di pasar pertukaran valuta asing dapat dipandang
sebagai tujuan yang terpisah dari kebijakan makroekonomi atau sebagai suatu
halangan terhadap operasional makroekonomi (Britton, 2000: 596).
Dalam hal ini instrumen kebijakan makroekonomi adalah moneter dan
fiskal. Kebijakan moneter dilaksanakan oleh bank sentral, sebagai contoh oleh
Bank Indonesia. Ketat/tidaknya kebijakan ini dapat diukur dari tingkat suku bunga
riil (yaotu suku bunga nominal dikurangi tingkat inflasi) atau melalui pertunbuhan
penawaran uang (yang didefinisikan secara berbeda-beda)> Salah satu keuntungan
kebijakan moneter sebagai alat untuk mempengaruhi perekonomian adalah
berbeda dari kebijakan fiskal., kebijakan ini bisa dikaji ulang dan diubah secara
kontinu berdasarkan informasi baru (Britton, 2000: 596).
Sedangkan kebijakan fiskal adalah perpajakan dan pembelanjaan
masyarakat yang dikontrol oleh pemerintah yang tunduk pada ketentuanketentuan
yang telah mendapat engesahan dari badan legislatif. Pajak dan
pembelanjaan mempengaruhi perekonomian melalui cara yang berbeda-beda,
tetapi ’kebijakan fiskal’ dalam konteks saat ini adalah efek bujet sebagai suatu
keseluruhan terhadap tingkat agregat permintaan dalam perekonomian. Kecuali
dalam situasi darurat, kebijakan fiskal biasanya diubah sekali setahun.
Kegunaannya dalam mengatur perekonomian juga ditentukan oleh kemampuan
dalam menangani anggaran publik itu sendirisecara bijaksana (Britton, 2000:
596).
Penggunaan pinjaman publik dan tingkat suku bunga untuk menstabilkan
perekonomian diterima sebagai suatu prinsip kebijakan pada tahun 1950-an dan
1960-an, seiring dengan gagasan Maynard Keynes yang telah mengubah banyak
prinsip ekonomi. Selanjutnya, di tahun 1970-an dan 1980-an muncullah neo klasik
atau kontra revolusi monetaris yang berasal dari Chicago dan dipimpin Milton
Frriedman. Isu yang mendasar dalam perdebatan ini berkaitan dengan hubungan
antara dua tujuan dari full employment dan stabilitas harga. Hal ini dimungkinkan
(melalui pemotongan pajak atau pemotongan tingkat suku bunga), untuk
meningkatkan ketenagakerjaan dalam jangka pendek tanpa harus membuat inflasi
meningkat cepat. Namun, dalam jangka apanjang argumentasi neo klasik
menyatakan bahwa situasi ini tidak bisa berbalik (dengan tingkat pengangguran
kembali pada level ”alamiah” dan tidak ada yang bisa ditunjukkan untuk
kebijakan perluasan kecuali terjadinya inflasi yang lebih tinggi.
Menurut Britton (2000: 597), tidak bisa dipungkiri, dalam praktiknya
catatan kebijakan makroekonmi sejak tahun 1970-an lebih banyak mengalami
kegagalan dibandingkan keberhasilan. Inflasi meningkat tajam di sebagian besar
negara, terutama pada periode kenaikan harga minyak dunia yang paling dramatis,
1974 dan 1979. Sejak tahun 1980-an inflasi lebih rendah, tetapi pada saat
bersamaan pengangguran di banyak negara jauh lebih tinggi. Respons terhadap
berbagai kekecewaan ini telah mengarahkan pada tindakan memperkenalkan
desain kebijakan baru untuk meningkatkan ”saling tukar” (trade off) antara dua
sasaran. Di tahun 1970-an, khususnya di Inggeris, penekanannya yang utama
adalah kebijakan harga dan penghasilan. Pendekatan lain, yang berlanjut hingga
5
tahun 1990-an, melibatkan tindakan-tindakan ketenagakerjaan khusus yang
dirancang untuk membantu pengaturan secara langsung dengan cara memberikan
pelatihan atau mencarikan lowongan pekerjaan yang sesuai untuk mereka.
Ini sangat berbeda dengan studimengenai unit-unit pengambilan keputusan
individual dalam perekonomian seperti rumah tangga, pekerja dan perusahaan,
yang secara umum dikenal dengan sebutan mikroekonomi. Sebagai contoh
ekonomi mikro meneliti determinasi harga terhadap beras, atau harga relatif beras
dan baja atau employment dalam industri baja, sementara ekonomi makro
berurusan dengan determinasi tingkat employment dalam suatu perekonomian
khusus, atau dengan tingkat harga dari seluruh komoditas. Kendati perbedaan
antara dua bidang analisis ekonomi ini berguna untuk berbagai tujuan.
Perkembangan ekonomi mikro sebagai suatu bidang tersendiri, merupakan
bagian dari pendekatan marjinal atau neo klasik yang mulai mendominasi teori
ekonomi setelah tahun 1970-an. Berbeda dengan ekonomo klasik, yang menyoroti
pertumbuhan ekonomi negara akibat pertumbuhan sunber daya produktif
mereka, serta menjelaskan harga relatif barang berdasarkan kondisi-kondisi
obyektif dari biaya-biaya produksinya. Dalam teori neo klasik mengarahkan
perhatiannya pada alokasi sumber daya yang tersedia secara efektif (dengan
asumsi implisit mengenai fullemployment) dan pada determinasi ’subyektif’
terhadap harga-harga individual yang berdasarkan pada kegunaan marjinal
(Asimakopulos, 2000: 660).
Terdapat enam topik yang sering dipresentasikan dalam ekonomi mikro,
yakni; (1) teori perilaku konsumen, (2) teori pertukaran, (3) teori produksi dan
biaya, (4) teori perusahaan, (5) teori distribusi, dan (6) teori ekonomi
kesejahteraan (Asimakopulos, 2000: 661). Tema umum yang mendasari semua
topik tersebut adalah upaya dari para aktor individual untuk meraih suatu posisi
yang optimal, dengan nilai-nilai parameter yang membatasi pilihan mereka. Para
konsumen berusaha untuk memaksimalkan kepuasan (atau kegunaan), sesuai
dengan selera, pendapatan mereka dan harga barang-barang; perusahaan berusaha
memaksimalkan laba mereka, dan ini berarti bahwa dengan tingkat output berapapun
diproduksi dengan biaya terendah. Syarat-syarat maksimalisasi tersirat dalam
istilah ekualitas marjinal (marginal revenue) sama dengan biaya mrginal
(marginal cost).
Dewasa ini ilmu ekonomi telah berkembang jauh melebihi ilmu-ilmu
sosial lainnya yang terbagi-bagi dalam beberapa bidang kajian seperti;
Ekonomi Lingkungan. Bidang kajian ’ekonomi lingkungan’
(environmental economics) ini bermula dari tulisan Gray (1900-an), Pigou (1920-
an), dan Hotelling (1930-an), akan tetapi baru mncul sebagai studi koheren pada
tahun 1970-an, yakni ketika revolusi lingkungan mulai terjadi di berbagai negara
(Pearce, 2000: 300). Selanjutnya, jika ditinjau dari substansinya, terdapat tiga
unsur pokok dalam ekonomi lingkungan, yakni; Pertama, kesejahteraan manusia
sedang terancam oleh degradasi lingkungan dan penyusutan sumber daya alam.
Dalam hal ini sangat mudah untuk menunjukkan bukti konkret dari timbulnya
bencana banjir yang disebabkan oelh penggundulan hutan, pembukaan lahan
untuk perumahan dan industri, terjadinya erosi, dan sebagainya. Semuanya ini
6
memiliki dampak bukan saja pada kesehatan, tetapi juga secara ekonomis
merugikan kehidupan manusia.
Kedua, kerusakan lingkungan disebabkan oleh penyimpangan/kegagalan
ekonomi, terutama yang bersumber dari pasar. Hal ini dapat diambil contoh,
bahwa karena orientasi produk dan profit, tidak sedikit beberapa industri yang
mengabaikan analisis dampak lingkungan yang merugikan (externality) bagi
masyarakat luas. Begitu juga banyak industri-industri global yang menempatkan
pabrik-pabrik dari negara maju ke hutanhutan dan persawahan di negara
berkembang. Ketiga, solusi kerusakan lingkungan harus mengoreksi unsur-unsur
ekonomi sebagai penyebabnya. Seperti halnya dengan kebijakan subsidi, relokasi
industri, dan sebagainya, yang kiranya merusak lingkungan, harus segera
dihentikan. Selain itu, jika ativitas ’destruktif’ terselubung yang merugikan itu
sulit dihentikan, perlu ada penerapan pajak ekstra atau penerbitan lisensi khusus
demi merendam kegiatan tersebut. Langkah ini pernah dilakukan di Amerika
Serikat yang menerbitkan lisensi polusi dan lisensi memancing, yang ternyata
cukup efektif mengatasi masalah tersebut (Pearce, 2000:300).
Ekonomi Evolusioner : Merupakan bidang kajian ekonomi yang
menjelaskan naik turunnya pertumbuhan ekonomi dan jatuh bangunnya
perusahaan-perusahaan, kota-kota, kawasan dan negara, yang mencerminkan
bahwa evolusi selalu beroperasi pada tingkat yang berlainan dengan tingkat
kecpatan yang berbeda-beda. Dan, hal inilah yang menjadi latar belakang
munculnya bidang-bidang baru kegiatan ekonomi (Metcalfe, 2000: 324). Dengan
demikian selalu dipertanyakan mengapa dan bagaimana perekonomian dunia
berbah, sehingga tinjauannya bersifat dinamis, untuk menangkap keragaman
perilaku yang memperkaya perubahan sejarah. Tema-tema inilah yang sering
dibicarakan dalam sejarah (Landes, 1968; Mokyr, 1991), yang semuanya bertolak
dari suatu mekanisme yang sama, namun menentukan pula keragaman perilaku
ekonomi.
Ekonomi evolusioner, juga merupakan entitas-entitas yang memiliki
berbagai karakteristik atau ciri perilaku, yakni; stabilitas kelangsunan perlaku
dari waktu ke waktu, sehingga kita dapat mengaitkan ciri-ciri perilaku di masa
mendatang dengan yang ada pada saat ini. Dengan dengan demikian inersia
(inertia) merupakan elemen pengikat penting serta tampak jelas bahwa evolusi
tidak dapat berlangsung di dunia di mana individu-individu atau organisasinya
berperilaku secara acak/random. Begitu juga dalam kajian mengenai sumber
keragaman perilaku ekonomi, para ahli lebih menaruh perhtian pada pengaruh
teknologi, organisasi, dan manajemen berdasarkan pemahaman bagaimana suatu
tindakan dilangsungkan sehingga memunculkan ciri-ciri perilaku yang
menguntungkan. Kemudian timbul pertanyaan; apakah evolusi itu mengandung
rasinalitas?. Di sini nampaknya tidak. Sebab dalam dunia manapun, di mana
pengetahuan dihargai cukup mahal sertakapasitas komputasional senaniasa
terbatas, maka kita tidak memiliki ijakan yang layak untukk mengupayakan
optimistisasi secara pasti, sebagai pedoman guna menilai perilaku. Walaupun
tidak disangkal lagi bahwabahwa ndividu senantiasa mencari hasil yang
terbaikdari serangkaian pilihan yang ada, akan tetapi kalkulasi yang
7
dipergunakannya mungkin saja bersifat lokal, dan tidak bersifat global. Hal nilah
yang merupakan sumber keragaman perilaku tersebut (Metcalfe, 2000: 324).
Ekonomi Eksperimental: Bidang ekonomi eksperimental pada mulanya
merupakan hasil-hasl studi perilaku pilihan individu, terutama ketika para ekonom
memusatkan perhatiannya pada teori-tori mikroekonomi. Teori tersebut bertumpu
pada preferensi-preferensi individu, di mana mereka menyadari bahwa bidang
tersebut sulit dipelajari dalam lingkungan alamiah, sehingga dirasakan perlunya
merumuskan sarana laboratorium. Sebagai pengujian awal formal atas teori-teori
pilihan individu (individual choice), dapat dtemukan pada tulisan Thurstone
dalam The Indifference Function (1931) yang menggunakan teknik-teknik
eksperimental. Kemudian didukung pula oleh teori harapan kepuasan (expected
utility theory) mengajukan prediksi-prediksi lebih gamblang, maka pada tahun
1950 Melvin Dresher dan Merrill Flood melakukan eksperimen awal secara
formal dilaksanakan. Ternyata teori ini memang cocok untuk mempelajari
perilaku, kendati masih ada penyimpangan. Selain itu, teori ini juga diterapkan
pula pada studi tentang pengadaan barang publik, yang dilakukan secara survey
oleh Ledyard dalam Publik Goods: a survey of experimental research tahun 1995
(Roth, 2000: 332).
Sebagai eksperimen awal tentang hal ini dilaukan oleh Thomas Schelling
dalam karyanya The Strategy of Conflict (1960). Eksperimen in sangat berguna
untuk mengisolasikan dampak-dampak aturan main tertentu yang harus
diorganisir pasar. Tentang kajian umum mengenai ilmu ekonomi eksperimental
dan ulasannya tentang sejarah dan perkembangannya, telah dimuat dalam karya
Roth ”Introduction to experimental ecomics” (1950). Begitu juga Sunder dalam
Experimental asset markets: a survey (1995), yang menyoroti pasar-pasar
komoditi, seperti; pasar ang dan asar modal, di mana informasi memegang
peranan sedemikan penting. Pendeknya, ’ilmu ekonomi eksperimental’ kini telah
menjadi perangkat riset yang mapan bagi perkembangan ekonomi secara umum
(Roth, 2000: 334).
Ekonomi Kesehatan: Ilmu ekonomi (health economics) kesehatan
berusaha melakukan analisis terhadap input-input perawatan kesehatan, seperti
pembelanjaan dan tenaga kerja, memperkerikan dampak-adampaknya pada hasil
akhir yang diinginkan, yakni kesehatan masyarakat. Sedangkan tujuannya ilmu
ekonomi kesehatan tersebut adalah menggeneralisasikan aneka informasi
mengenai biaya dan keuntungan dari cara-cara alternatif mencapai kesehatan dan
tujuan-tujuan kesehatan (Maynard, 2000: 427).
Dalam relaitasnya, evaluasi mengenai perawatan kesehatan itu jarang
dilakukan baik yang bersifat publik (pemerintah) maupun pribadi (misalnya
individu pembuat keputusan dan anggota keluarganya). Bahjan Cochrane dalam
tulisannya yang berjudul Effectiveness and Efficiency (1971) mengeluhkan
kebiasaan buruk tersebut dengan mengemukakan: ”hampir semua terapi
perawatan kesehatan, tidak pernah dievaluasi secara ’ilmiah’. Maksud ’ilmiah’ di
sini adalah bahwa aplikasi ujicoba terkontrol yang sifatnya random oleh pelaksana
terapi terhadap kelompok eksperimental pasienyang diambil secara acak. Serta
sebuah konsep terapi alternatif sebagai pembandingnya. Jika ada perbedaan
8
signifikan antara hasil terapi pada kelompok kontrol, berarti dampak relatif dari
terapi tersebut benar-benar berpengaruh maupun bermakna.
Ekonomi Institusional. Ekonomi institusional (institutional economics)
merupakan studi tentang sistem-sistem sosial yang membatasi penggunaan dan
pertukaran sumber daya langka, serta upaya-upaya untuk menjelaskan munculnya
berbagai bentuk pengaturan institusional yang masing-masing mengandung
konsekuensi tersendiri terhadap kinerja ekonomi (Eggertsson, 2000: 501).
Lahirnya ilmu ekonomi institusional ini bertolak dari asumsi-asumsi
1. Kontrol yang lemah akan mendorong pemborosan dan
pemanfaatn sumber daya secara semberono.
2. Kontrol yang tertib akan menurunkan niat curang dan
memperkecil biaya transaksi yang selanjutnya memacu
spesialisasi produksi dan investasi jangka panjang.
3. Pemilahan kontrol sosial mempengaruhi distribusi kekayaan.
4. Kontrol organisaional mempengaruhi pilihan organisasi
ekonomi.
5. Kontrol bisa secara langsung mengatur pemakaian sumber
daya ke sektor-sektor yang dianggap paling tepat.
6. Struktur kontrol mempengaruhi pengembangan jangka
panjang sistem ekonomi karena strukturitu mempengaruhi
nilai relatif investasi dan jenis-jenis proyek yang akan
diutamakan (Eggertsson, 2000: 501).
Ditinjau dari usianya, ilmu ekonomi institusional tersebut relatif baru,
karena secara formal baru berdiri sejak tahun 1980, kendati perintisannya jauh
dilakukan pada masa-masa sebelumnya. Coase dalam The Nature of the Firm
(1937), dan The Problem of Social Cost (1960), tentang biaya transaksi; Alchian
dalam Some economics of property (1961) tentang hak cipta. Padatahun 1980-an
inilah upaya-upaya pengembangan teori ekonomi umum yang baku tentang
institusi memperoleh momentumnya. Penyempurnaan-penyempurnaan
pendekatan standar dalam ilmu ekonomi telah berhasil dilakukan, bersamaan
dengan munculnya ekonomi neo-institusdional yang mencakup berbagai al
penting yang semula tidak termasuk dalam endekatan konvensioanl. Beberapa
modifikasi tersebut telah diterima sebagai bagian dari aliran utama ilmu ekonomi
serta cabang-cabangnya seperti; studi organisasi industri seperti yang ditulis
Milgram dan Roberts, 1992; dan ekonomi hukum yang ditulis Posner, 1992,
(Eggerstsson, 2000: 503).
Ekonomi Matematik. Ilmu ’ekonomi matematik’ (mathematical
economics) mulai berkembang sejak tahun 1950-an. Sebelum terjadi formalisasi
ekonomi matematika dan sebelum dikenal teknik-teknik canggih dalam analisis
matematika ekonomi tersebut terutama bertumpu pada teknik-teknik analisis
grafik dan presentasi. Memang pada tingkat tertentu sangat efektif, tetapi teknikteknik
tersebut juga dibatasi leh karakter dua dimensional dari selembar kertas.
Selain itu juga, teknik-teknik grafik dapat mengemukakan asumsi-asumsi implisit
yang signifikansinya mungkin tidak kentara atau sangat sulit dimengerti (Hughes,
2000: 630). Tetapi setelah tahun 1950-an, terutama yang ditandai oleh arus
9
perpindahan ahli-ahli matematika menjadi akademisi ekonomi (seperti Kenneth
Arrow, Gerard Debreu, Frank Hahn, Werner Hildenbrant), maka ilmu ekonomi
matematik-pun menjadi berkembang dengan pesat sebagai suatu disiplin ilmiah.
Ditinjau dari substansinya dalam ekonomi matematik tersebut, mula-mula
digunakannya teori ekuasi simultan (simultaneous equations) oleh Leon Walras,
untuk membahas problem ekuilibrium dalam beberapa pasar yang saling
berhubungan dengan dignakannya kalkulus oleh Edgeworth untuk menganalisis
perilaku konsumen. Beberbagai permasalahan ini tetap berada pada inti ekonomi
matematika modern, kendati teknik-teknik matematematika yang diterapkan telah
berubah seluruhnya. Analisis ekuilibrium umum telah menjadi sangat bergantung
pada perkembangan modern dalam tipologi dan analisis fungsional, sehingga
pembagian bidang antara tipe ekonomi matematika yang cukup abstrak dengan
matematika murni, hampir tidak jelas sama sekali. Kemudian substansi lainnya
adalah teori perilaku konsumen atau produsen, individual mendapatkan manfaat
dan kemajuan melalui teori program matematika dan teori analisis cembung atau
covex analysis (Hughes, 2000: 631). Sebagai implikasinya hasil ari penerapan
kalkulus digolongkan pada suatu teori umum yang didasarkan pada konsep fungsi
nilai maksimum/minimum, yaitu suatu fungsi laba maupun biaya untuk produsen.
Hal ini merupakan suatu fungsi kegunaan atau pembelanjaan tidak langsung bagi
konsumen. Dengan demikian teori ini menggali hasil dualitas yang menandai
berbagai masalah maksimalisasi dan minimalisasi yang saling berhubungan, yang
dapat diberi nterpretasi ekonom langsung. Seperti halnya kumpulan ’harga-harga
bayangan’ dengan berbagai hambatan yang membatasi berbagai berbagai pilihan
yang layak. Pendekatan terhadap teori konsumen dan produsen tersebut
mempunyai implikasi–implikasi empiris g penting dan dapat diuji (Hughes, 2000:
631).
Ekonomi Sumber Daya Alam; Ilmu ekonomi sumber daya alam (natural
resource economics), merupakan bidang ekonomi yang mencakup kajian
deskriptif dan normatif terhadap alokasi berbagai sumber daya alam (yaitu sumber
daya yang tidak diciptakan melalui kegiatan manusia, melainkan disediakan oleh
alam). Beberapa masalah penting dalam hal ini berkaitan dengan jumlah sumber
tertentu yang bisa atau harus ditransformasikan dalam proses-proses ekonomi,
dan keseimbangan dalam pemanfaatan sumber daya antara generasi sekarang dan
yang akan datang (Sweeney, 2000: 697).
Ekonomi Pertahanan. Ekonomi pertahanan (defence economic),
merupakan studi tentang biaya-biya pertahanan yang mengkaji masalah
pertahanan dan erdamaian dengan menggunakan analisis dan metode ekonomi
yang meliputi kajian mikroekonomi dan makroekonomi seperti optimiasi statis
dan dinamis, teori-teori pertumbuhan, distribusi, perbandingan data statistik dan
ekonometrik (penggnaan statistika model ekonomi). Sedangkan pelaku-pelaku
dalam studi ini antara lain, Menteri Pertahanan, birokrat, kontraktor pertahanan,
anggota parlemen, bangsa-bangsa yang bersekutu, para gerilyawan, teroris dan
pemberontak (Sandler, 2000: 208).
Bidang ini berkembang pesat setelah Perang Dunia II, yang topik-topiknya
mencakup; perlombaan senjata, studi aliansi dan pembagian beban, kesejahteraan,
penjualan senjata, kebijakan pembelian senjata, pertahanan dan pembangunan,
10
industri senjata, persetujuan embatasan senjata, dampak ekonomis dari suatu
erjanjian, evaluasi usulan perlucutan senjata, pengalihan industri pertahanan, dan
sebagainya. Ketka terjadi Perang Dingin Blok barat dan Timur, pehatian ekonomi
pertahanan umumnya tertuju pada masalah-masalah beban pertahanan dan
dampaknya terhadap pertumbhan ekonomi. Sedangkan pada pasca Perang Dingin,
para ekonom pertahanan memusatkan perhatian pada konversi perindustrian
militer, aspek sumber daya persenjataan, biaya pemeliharaan pasukan penjaga
perdamaian, dan pengukuran keuntungan perdamaian (Sandler, 2000: 209).
B. Metode Ilmu Ekonmi
Seperti yang telah dikemukakan di atas bahwa ilmu ekonomi secara
sedehana merupakan uapaya manusia untuk pemenuhan kebutuhannya yang
bersifat tak terbatas dengan alat pemenuhan kebutuhan berupa barang dan jasa
yang bersifat langka serta mempunyai kegunaan altrnatif. Untuk dalam cara
pemenuhan kebutuhan itulah berkaitan dengan metode-metode dalam ilmu
ekonomi tersebut.
Adapun metode-metode yang digunakan dalam ilmu ekonmi,menurut
Chaurmain dan Prihatin (1994: 14-16) meliputi:
1. Meode Induktif; yaitu metode di mana suatu keputusan dilakukan dengan
mengumpulkan semua data iformasi yang ada di dalam realitas kehidupan.
Realita tersebut dalam setiap unsur kehidupan yang dialami individu,
keluarga, masyarakat local dan sebagainya mencoba dicari jalan pemecahan
sehingga upaya pemenuhan kebutuhannya tersebut dapat dikaji secara
secermat mungkin. Sebagai contoh upaya menghasilkan dan menyalurkan
sumber daya ekonomi. Upaya tersebut dilakukan sedemikian rupa sehingga
sampai diperoleh barang-barang dan jasa-jasa yang dapat tersedia pada
jumlah, harga, dan waktu yang tepat bagi pemenuhan kebutuhan tersebut.
Untuk mencapai tujuan tersebut maka diperlukan perencanaan yang dalam
ilmu ekonomi berfungsi sebagai cara ataupun metode untuk menyusun daftar
kebutuhan terhadap sejumlah barang dan jasa yang diperlukan masyarakat.
2. Metode Deduktif; adalah suatu metode ilmu ekonomi yang bekerja atas dasar
hukum, ketentuan atau prinsip umum yang sudah diuji kebenarannya. Dengan
metode ini ilmu ekonomi mencoba menetapkan cara pemecahan masalah,
sesuai dengan acuan, prinsip, hukum dan ketentuan yang ada dalam ilmu
ekonomi. Misalnya, dalam ilmu ekonomi terdapat hukum yang
mengemukakan bahwa “jika persediaan barang-barang dan jasa berkurang
dalam masyarakat, sementara permintaannya tetap, maka maka barang-barang
dan jasa-jasa akan naik harganya”. Bertolak dari hukum ekonomi tersebut,
para ahli ekonomi secara deduktif sudah dapat menentukan bahwa harus
dijaga agar pesrsediaan barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat tersebut
selalu dapat mencukupi dalam kuantitas dan kualitasnya. Boulding (1955: 12)
menyebutnya sebagai metode eksperimen intelektual (the method of
intellectual experiment).
3. Meode Matematika; adalah metode yang digunakan untuk memecahkan
masalah-masalah ekonomi dengan cara pemecahan soal-soal secara
11
matematis. Hal ini maksudnya bahwa dalam matematika terdapat kebiasaankebiasaan
yang dimulai dengan pembahasan dalil-dalil. Melaui pembahasan
dalil-dalil tersebut dapat dipastikan bahwa kajiannya itu dapat diterima
secara umum.
4. Meode Statistika; adalah suatu metode pemecahan masalah ekonomi dengan
cara-cara pengumpulan data, pengolahan data, analisis data, penafsiran data,
dan penyajian data dalam bentuk angka-angka secara statistik. Dari angkaangka
yang yang disajikan, kemudian dapat diketahui permasalahan yang
sesungguhnya untuk kemudian dicarikan cara pemecahannya. Sebagai contoh,
pembahasan mengenai masalah pengangguran. Dalam hal ini bisa terlebih
dahulu diidentifikasi unsur-unsur yang berkaitan dengan pengangguran,
misalnya; data-data perusahaan, data-data tenaga kerja yang yang
terdidik/kurang terdidik, jenis dan jumlah lapangan kerja yang trsedia,
jumlah dan tingkat upah yang ditawarkan perusahaan, temapat perusahaan
beroperasi, maupun rata-ratempat tinggal para calon pekerja. Dari data yag
tekumpul tersebut, seorang ahli ekonomi akan dapat menyusun
pengolahan/analisis dan penafsiran data secara statistik yang berhubungan
dengan pemecahan masalah pengangguran tersebut. Dari angka-angka statistik
tersebut kemudian ia dapat menentukan cara-cara yang tepat untuk membantu
mengatasi masalahmasalah pengangguran secara akurat berdasarkan tafsiran
peneliti terhadap angka-angka yang disajian secara statistik.
B. Sejarah Lahir dan Perkembangan Ilmu Ekonomi
Menurut Irving Kristol, ilmu ekonomi sebagai sebuah disiplin akademis,
dalam perjalanan sejarah, muncul pada abad ke-17 dan 18 sebagai suatu aspek
“revolusi” filosofis yang menciptakan dunia “modern” (Kristol, 1981: 203).
Dalam hal ini “manusia ekonomi” yang diciptakan ilmu ekonomi tampil sebagai
manusia yang ingin mencapai kepuasan yang tertinggi.
Jika ditelusuri lebih jauh kisah, konsep “manusia ekonomi” itu dapat
ditelusuri dalam falsafah Psikologi Asosiatif khususnya “hedonisme” serta
falsafah “utilitarianisme” yang banyak merambah pengikutnya sejak abad 18 dan
19. Dan kalau ingin ditelusuri lebih jauh lagi “hedonisme” sudah ada sejak zaman
Yunani kuno, salah seorang tokohnya yang terkenal adalah Epikurus (341-271
s.M.) Paham ini berpendapat bahwa kepuasan merupakan satu-satunya alasan
dalam tindak susila. Hal ini sesuai dengan pendapat Joseph Schumpeter (1954)
menulis sebagai berikut:
Buku ini akan memaparkan perkembangan dan nasib baik
analisis ilmiah di bidang ilmu ekonomi, mulai dari zaman
Greaco-Roman hingga sekarang, dalam suatu kerangka sosial
dan politik yang memadai dengan tetap memberi perhatian pada
perkembangan-perkembangan di berbagai bidang ilmu sosial
lainnya dan juga filsafat.
Sedikit sekali para ekonom kontemporer yang mau melacak ilmunya dari
peradaban Greaco-Roman (Yunani-Romawi) dan tidak banyak pula yang
menonjolkan keeratan hubungan antara ilmu ekonomi dengan ilmu-ilmu lainnya
12
seperti dengan sejarah maupun filsafat (Bills, 2002: 273). Namun dengan
menyediakan tulisan 200 halaman, Schumpeter sengaja melacak hal itu sebelum
Adam Smith tahun 1776 menulis The Wealth of Nations, yang menandai
munculnya ilmu ekonomi yang sepenuhnya berdiri sendiri (Bill, 2002: 273).
Pertama, ide-de yang berkembang pada jaman Renaissance yang
menyatakan bahwa manusia adalah bagian dari alam yang berdaulat. Gagasan ini
membebaskan para analis ekonomi untuk menerapkan metode-metode rasional
dan reduksionis guna mengikis anggapan-anggapan ekonomi yang tidak
didasarkan pada fakta atau kajian ilmiah (misalnya, anggapan orang hanya bisa
disebut kaya jika ia punya banyak emas).
Kedua, ilmu ekonomi terbebaskan dari ikatan moral, namun tidak lantas
menjadi sosok negara yang penuh kekuasaan yang politik ekonominya amoral
seperti yang diperkirakan para merkantilis dan teoretisi lainnya, yang di mata
Adam Smith dan kawan-kawan tidak realistis. Ilmu ekonomi sekedar lebih
“dingin” dalam menanggapi soal-soal moral, dan membuka diri terhadap kajian
kritis.
Ketiga, tujuan analisis ekonomi meluas, bukan sekedar pada pemilihan
kebijakan dagang demi memperbesar kekuatan negara, melainkan juga
menyangkut kehidupan dan kesejahteraan sehari-hari. Perkembangan
individualisme libelar di abad 17 dan 18 menggarisbawahi pergeseran itu. Mulai
banyak analisis yang dicurahkan pada pengerjaan kesejahteraan individu yang
telah dipandang sebagai sesuatu yang wajar, dan tidak lagi dianggap sebagai
wujud keserakahan (Bliss, 2000: 273).
Pernyataan yang terakhir inilah nampak adanya titik temu dua aliran besar,
yakni aliran yang menghendaki kiprah aktif negara, dan aliran laissez faire.
Kedua-duanya sama-sama menganggap penting peran negara/pemerintah dalam
perekonomian. Hanya saja mereka masih berbeda pendapat secara mendasar
tentang sejauh mana peran itu dilakukan? Kebijakan menjadi topik kajian yang
sangat diminati, dan sampai sekarang aneka model dan rumusannya terus
dikembangkan demi memudahkan berlangsungnya perumusan kebijakan ekonomi
yang sebaik-baiknya.
Ilmu ekonomi sendiri terus bergulat dengan persoalan-persoalan
epistemologi dan aksiologinya. Ilmu ekonomi memang bukan ilmu pasti seperti
fisika, biologi, maupun kimia yang serba eksak. Ilmu ekonomi memiliki modelmodel
data dan asumsi-asumsinya sendiri yang bersifat menyederhanakan atau
simplistik. Di dalamnya juga terkandung nilai-nilai, tentang apa yang dianggap
baik atau buruk. Padahal ilmu pada umumnya bebas nilai (bukan dalam
penegrtian acak, namun bebas dari penilaian si ilmuwan).
Secara umum, asumsi kedaulatan selera individu tidak dipersoalkan oleh
para ekonom. Sejak Vilfredo Pareto sampai sekarang, dukungan bagi pengajaran
kepentingan individu merupakan inti ekonomi kesejahteraan. Namun Hicks
(1969) menentang pandangan itu dengan mengungkapkan adanya tiga kelemahan
dalam evaluasinya. Hal ini didukung oleh Arrow (1973) yang secara meyakinkan
dapat menunjukkan melui sebuah fungsi kesejahteraan yang diderivasikan dari
preferensi individu bahwa prinsip kedaulatan konsumen akan memunculkan
pemaksaan atau kediktatoran satu individu kepada individu lainnya. Meskipun
13
rumusan Arrow itu controversial (lihat misalnya Sen, 1979), namun pendapatnya
telah mengubah keyakinan mutlak tentang kedaulatan konsumen yang semula
diagungkan.
Memang sejumlah ekonom lebih suka menanggalkan sikap netral dan
melacak implikasi dari suatu kebijakan berdasarkan nilai-nilai mereka sendiri,
meskipun ekonom lain mempertahankannya. Hal ini antara lain terwujud berupa
teori kebijakan keuangan publik yang mementingkan kepentingan umum;
misalnya mereka menegaskan bahwa pajak rata-rata (lump taxation) adalah yang
paling baik karena tagihan yang dibebankannya terhadap setiap wajib pajak
relatif paling kecil, meskipun distribusinya tidak merata (pajak yang dibayarkan
oleh orang kaya dan miskin tidak banyak berbeda (Atkinson dan Stiglitz, 1980).
Perdebatan ini tidaklah berarti bahwa ilmu ekonomi sejak awal suddah
demikian sarat dengan nilai. Usulan pajak rata-rata itu lebih bertolak dari sikap
yang tidak terlalu mementingkan kaitan antara efisiensi dan distribusi pungutan
pajak, serta sikap itu sendiri diwarnai oleh angan-angan akan adanya lembagalembaga
ekonomi yang sempurna dan mampu menjangkau batas kemungkinan
kepuasan (utility possibility frontier) melui kebijakan tertentu. Ilmu ekonomi
modern berusaha mencapai “kompatibilitas intensif” atau pengutamaan disain
dan fungsi lembaga-lembaga ekonomi, termasuk perpajakan, di mana setiap
individu dimudahkan oleh negara dalam mengejar kepentingannya (Fudenberg
dan Tirole, 1991).
Dalam ekonomi modern, disain kebijakannya jauh lebih rumit dan
canggih, dan begitu juga asumsi pembatasannya lebih banyak daripada
perekonomian pada abad sebelumnya khususnya aabad ke-18. Bentuk dan sejauh
mana peran negara dalam ekonomi dimodelkan dalam konteks disain sistem
perpajakan dan regulasi. Harus diakui bahwa kajian tentang desain kebijakan ini
kian lama kian lengkap.
Lalu seberapa jauh keberhasilan ilmu ekonomi di akhir abad 20 atau awal
21? Ditinjau sekilas secara ekologis, ilmu ekonomi memang cukup berhasil. Ia
mampu mereproduksi diri secara efisien. Namun kemampuannya dalam
memecahkan masalah masih perlu dipertanyakan. Bahkan sejak pertengahan
tahun 1970-an, para ekonom sering mempertanyakan relevansi ilmu mereka
dengan kebijakan, khususnya dalam ekonomi makro yang teori-teorinya masih
jauf dari efektif, meskipun mereka sendiri termasuk Adam Smith dahulu
menyadari bahwa teori tidak akan dapat memperbaiki kondisi pasar. Betapa-pun,
ilmu ekonomi akan tetap mmenarik karena dapat menawarkan perspektif guna
memahami apa yang terjadi di pasar.
Hampir setiap kekeliruan kebijakan selalu ditimpakan pada pemikiran
intelektual yang melandasinya. Hal ini tidak selalu benar, karena ada kalanya
kegagaln kebijakan disebabkan oleh faktor-faktor non-ekonomi ataupun yang lain.
Sebaliknya kegagalan ekonomi bisa ikut menyebabkan hancurnya suatu sistem
negara seperti yang dialami sistem komunisme di Uni Soviet dan Eropa Timur
lainnya. Namun tentu saja pasar atau ekonomi dan langkah-langkah
pembinaannya (misalnya liberalisasi) bukan satu-satunya solusi. Hal ini terbukti
dengan gagalnya serangkaian reformasi ekonomi di bekas negara-negara komunis
14
Eropa Timur itu. Kondisi ekonomi di setiap masyarakat terbukti tidak bisa
dilepaskan dari pengalaman dan presumsi sejarahnya (Bliss, 2000: 277).
C. Mazhab-mazhab dalam Ekonomi
Ilmu ekonomi mengenal berbagai mazhab, menurut Sastradipoera (2001:
12-82) terdapat delapan mazhab ilmu ekonomi, yaitu mazhab:(1) merkantilis; (2)
fisiokrat; (3) klasik; (4) sosialis; (5) hitoris; (6) marjinalis; (7) institusionalis; (8)
kesejahteraan.
Mazhab merkantilisme muncul antara Abad Pertengahan dengan kejayaan
Laissez-Faire (1500-1776 atau 1800). Menurut Eatwell (1987: 445),
merkantilisme merupakan babak panjang pertalian sederhana dalam sejarah
pemikiran ekonomi Eropa da kebijaksanaan ekonomi nasional, yang membentang
sekitar tahun 1500 sampai tahun 1800. Adanya ‘penemuan-penemuan’ daerah
baru yang luas memiliki implikasi bahwa institusi ‘gilda’ tidak memadai lagi,
bahkan dianggap sebagai penghambat berkembangnya perdagangan antar negara
waktu iru. Akibatnya, mereka melakukan perdagangan dengan berbagai negara
hasil temuan mereka, dan semua ini menimbulkan persaingan dagang yang
makin menajam antar bangsa penjelajah. Para ‘kapitalis pedagang’ (marchant
capitalists) memegang peranan penting dalam dunia bisnis. Emas, rempahrempah,
perak yang memberikan kemudahan bagi pesatnya perdagangan dan
mendorong tumbuhnya teori menenai logam mulia (Sastradipoera, 2001: 14).
Pada masa tersebut peran tokoh Thomas Mun (1571-1641) saudagar kaya
raya dari Inggris dan Jean Baptist Colbert (1619-1683) adalah seorang menteri
utama ekonomi dan keuangan dari Prancis pada zaman raja Louis XIV, meupakan
dua tokoh penting yang mewakili kaum ‘skolar’ dan saudagar pada waktu itu,
sehingga ekonomi merkalitisme ini sering disebut ‘Colbertisme’.
Inti ajaran/mazhab ini bahwa; Pertama, emas dan perak khususnya
merupakan bentuk kekayaan yang paling banyak disukai, oleh karena itu merka
melarang ekspor logam mulia. Kedua, negara harus mendorong ekspor dan
memupuk kekayaan dengan merugikan negara lainnya (tetangga). Ketiga, dalam
kebijaksanaan ekspor-impor, berkeyakinan bahwa perkembangan harus dapat
diraih dan dikelola dengan jalan meraih surplus sebesar-besarnya dari penerimaan
ekspor barang yang melebihi belanja untuk impor barang. Keempat, kolonisasi
dan monopolisasi perdagangan harus benar-benar dapat dilaksanakan secara ketat
untuk memelihara keabadian kaum koloni tunduk dan tergantung kepada negara
induk. Kelima, penentangan atas bea, pajak, dan restriksi intern terhadap
mobilitas barang, Keenam, harus dibangun pemerintah pusat yang kuat, guna
menjamin kebijaksanaan merkantilisme tersebut, dan. Ketujuh, pentingnya
pertumbuhan penduduk yang tinggi namun disertai dengan sumberdaya manusia
yang tinggi pula untuk memenuhi kepentingan pemasokan kepentingan militer
serta pengelolaan merkentilisme yang kuat pula (Sastradipoera, 2001: 12-18).
Mazhab Fisiokrat, muncul pertama kali di Prancis menjelang berakhirnya
zaman merkantilis yang diawali tahun 1756. Isitah ”fisiokrat” berasal dari bahasa
Yunani, dari kata ”physia” berarti alam, dan ”kratos” berarti kekuasaan. Secara
harfiah beararti ”supremasi alam”. Tokohnya adalah Frncois Quesnay (1654-
1774), seorang dokter ilmu bedah Prancis yang pernah menjadi dokter pribadi
15
Raja Louis XV, juga dokter kepercayaan selir raja, Madame de Pompadour. Di
samping profesinya sebagai dokter, ia seorang ahli ekonomi yang menulis
artikelnya ”ilmu ekonomi” dalam Grande Encyclopedie. Quesnay mengecam
kebijaksanaan ekonomi Colbert, dengan mengatakan bawa seorang menteri
tidaklah pantas mengeluarkan kebijaksanaan hanya didorong oleh kecemburuan
terhadap keberhasilan perdagangan Belanda dan keindahan industri barang-barang
mewah. Hal ini hanya akan menjebloskan negara Prancis dalam kebodohan yang
amat dalam, di mana rakyat hanya bisa bicara mengenai ”dagang” dan ”uang”.
Semuanya ini tidak lain hanya karena ulah Colbert yang telah menghancurkan
sendi-sendi ekonomi rakyat Prancis.
Inti ajaran fisiokrat ini pada hakikatnya berlandaskan hukum alam.
Sebagaimana Isaac Newton (1643-1727) yang telah menemukan hukum dunia
fisik, maka Quesnay percaya bahwa seluruh kegiatan manusia harus dibawa ke ke
dalam harmoni dengan hukum alam. Intinya, pertama, Semboyan laissez-faire,
laissez-passer yang berasal dari Vincent de Gournay (1712-1759) yang arti
konotatifnya ”biarkan orang berbuat seperti yang mereka sukai tanpa campurtangan
pemerintah” mengisaratkan betapa pemerintah harus membatasi diri dalam
intervensinya dalam perekonomian jelas bertentangan dengan kaum merkantilis,
maupun feodalis. Kedua, tekanan pada sektor pertanian yang produktif yang
memungkinkan terjadinya surplus atau produk neto di atas nilai sumber daya yang
digunakan. Ketiga, pemilik tanah harus dibebani pajak yaitu dalam bentuk satu
macam pajak Sekalipun perekonomian Prancis tidak menjadi lebih baik, namun
fisiokrat telah memberikan sumbangan yang bermakna bagi perkembangan ilmu
ekonomi, terutama dalam semboyan laissez-faire, fisiokrat mengubah perhatian
para ekonom kepada masalah peranan pemerintah dalam perekonomian yang
didasarkan pada persaingan bebas dan kebebasan memilih serta membuat
keputusan (Sastradipoera, 2001: 21-27)..
Mazhab Klasik; mazhab ini secara umum mengacu kepada sekumpulan
gagasan ekonomi yang bersumber dari formulasi David Hume, yang karya
terpentingnya diterbitkan pada tahun 1752 dan munculnya seorang ekonom besar
yang pernah menjadi Guru Besar Falsafah Moral di Universitas Glasgow, Adam
Smith dengan karyanya An Inquiry into the Nature and causes of the Wealth of
Nations tahun 1776 sampai Ricardo, McCulloch John.Stuart. Mill, dan Lord
Overstone (1837). Gagasan-gagasan kedua tokoh tersebut mendominasi ilmu
ekonomi, khususnya yang mekar di Inggeris, selama seperempat terakhir abad 18
dan tigaperempat pertama abad 19 (O’Brien, 2000: 120).
Inti mazhab klasik tersebut pada hakikatnya terletak pada gagasan bahwa
pertumbuhan ekonomi berlangsung melalui interaksi antara akumulasi modal dan
pembagian kerja. Akumulasi modal dapat dilakukan dengan menunda atau
mengurangi penjualan out-put dan hal ini baru akan bermanfaat jika dibarengi
pengembangan spesialisasi dan pembagian kerja. Pembagian kerja iu sendiri
nantinya akan dapat meningkatkan total out-put sehingga memudahkan
dilakukannya akumulasi modal lebih lanjut. Jadi jelaslah bahwa antara kedua hal
tersebut terdapat hubungan timbal-balik yang sangat penting. Pertumbuhan
ekonomi hanya dapat ditingkatkan jika modal bisa ditambah, dan atau jika alokasi
sumber daya (pembagian kerja) dapat disempurnakan. Namun pembagian kerja itu
16
sendiri dibatasi oleh ukuran atau skala pasar, yang pada gilirannya ditentukan oleh
jumlah penduduk dan pendapatan perkapita yang ada. Tatkala modal
terakumulasi, tenaga kerja akan kian dibutuhkan sehingga tingkat upah-pun
meningkat untuk memenuhi kebutuhan ”subsisten” baik secara psikologis maupun
fisiologis (O’Brien, 2000: 121). Ilmu ekonomi klasik tersebut merupakan prestasi
intelektual yang mengesankan. Landasan-landasan teoretis yang
dikembangkannya menjadi pijakan bagi teori-teori perdagangan dan moneter
sampai sekarang ini.
Mazhab Sosialisme. Dalam mazhab sosialisme ini sistem pemilikan dan
pelaksanaan kolektif atas faktor-faktor produksi (khususnya barang-barang
modal), biasanya oleh pemerintah. Ide-ide sosialis dan gerakan politik mulai
berkembang pada awal abad ke-19 di Inggeris dan Prancis. Periode antara tahun
1820-an sampai 1850-an ditandai dengan pletoria beragam sistem sosialis yang
diusulkan oleh Saint-Simon, Fourier, Owen, Blanc, Proudhon, Marx dan Engels,
serta banyak lagi pemikir sosialis lainnya. Kebanyakan sistem/mazhab ini bersifat
utopia dan sebagian besar pendukungnya adalah para ’filantropis’ (cinta kasih
sesama umat manusia) kelas menengah yang memiliki komitmen untuk
memperbaiki kehidupan para pekerja/burh serta kaum miskin lainnya. Selain itu
kebanyakan penganut sosialis mendambakan masyarakat yang lebih terorganisir
yang akan menggantikan anarki akibat dari pasar dan kemiskinan masal
masyarakat perkotaan (Hirst, 2000: 1012).
Inti ajaran atau mazhab sosialis sebenarnya sulit dijelaskan karena luasnya
cakupan sosialisme (sosialisme utopis, sosialisme ilmiah, sosialisme negara,
sosialisme anarkis, sosialisme revisionis, sosialisme serikat sekerja, dan
sebagainya).
Mereka yang membela sosialisme acapkali berbeda mengenai
jenis sosialisme yang mereka cari. Hanya dalam beberapa hal
mereka mempunyai kesamaan, selebihnya berbeda bahkan
bertentangan. Ada yang menghendaki hapusnya pemerintah,
sementara yang lainnya ingin mempertahankan agar dapat
melindungi kepentingan bruh; ada pula yang menganggap semua
lambang kapitalisme harus dilenyapkan, termasuk mekanisme
pasar, harga, dan invisible hand, sedangkan yang lainnya
menganggap mekanisme pasar dan harga masih diperlukan dalam
saat-saat awal soialisme disebabkan sulitnya mengukur efisiensi
ketika dewan perencanaan pusat menyusun prioritas
(Sastradipoera, 2001: 40).
.
Sedangkan mazhab historis, yang lahir di Jerman tahun 1840-an melalui
karya ilmiah yang ditulis oleh Friederich List (1789-1846) dalam Nationales
System der politischen Oekonomie (1840), dan Wilhelm Roscher (1817-1894)
dalam Grundriss zu Vorlesungen ueber die Staatswissenchaft nach
geschichtilicher Methode (1843), menyerang mazhab klasik Inggeris. Mereka
beranggapan bahwa konsep-konsep ekonomi sesungguhnya merupakan produk
perkembangan menurut sejarah kehidupan ekonomi yang khusus tumbuh di sautu
negara. Oleh karena itu hukum-hukum ekonomi tidaklah mutlak, tetapi bersifat
17
relatif atau nisbi berhubungan dengan perkembangan sosial menurut dimensi
waktu dan tempat.
Kemudia mazhab marjinalis. Mazhab ini pelopornya adalah Karl Menger
(1840-1921) dari Jerman dalam karyanaya Grundsaetze der Volkswirtschaftlehre
(1871). Selanjutnya seorang ekonom Inggeris William Staley Jevons (1835-1882)
dalam karyanya Theory of Political Economy (1871), dan seorang Prancis Leon
Walras (1834-1910) dalam karyanya Elements d’economie politique pure (1874).
Mereka memberikan analisis yang telak mengenai hubungan antara kebutuhan dan
harga dengan mengacu kepada konsep ”guna marjinal”. Mereka menegaskan
bahwa dalam hal seseorang individu, setiap tambahan suatu barang yang
dilakukan secara berturut-turut akan memperkecil nilai obyektif setiap tambahan
yang dimiliki oleh individu itu. Oleh karena itu gagasan yang tidak sistematik
mengenai nilai pakai dan permintaan serta penawaran sebagai penentu nilai tukar
barang (yang dikembangkan bersamaan dan bertentangan dengan teori Klasik),
menemukan penanganansistematik pada awal tahun 1970-an oleh ketiga penulis di
atas (Sastradipoera, 2001: 62).
Mazhab institusionalis, datang dari Amerika Serikat tahun 1900-an yang
pengaruhnya masih kuat sampai sekarang ini, contohnya adanya undang-undang
anti-trust yang masih dipertahankan. Tokohnya adalah Thorstein Veblen (1857-